"Yang Mulia, ini gawat!"
Halima tergopoh-gopoh mendatangi permaisuri yang tengah asyik membaca beberapa buku di istananya. Anzilla reflek mengalihkan perhatian pada pelayan itu. "Ada apa, Halima? Bicaralah pelan-pelan," ujar nya kemudian, kala melihat Halima bernapas dengan cepat seperti habis dikejar sesuatu.
"Orang-orang di istana ini tengah heboh membicarakan pertengkaran Anda dengan khalifah tadi malam, muncul rumor bahwa Anda dirasuki roh jahat sehingga berubah membenci putra Anda sendiri."
Mendengar aduan Halima, Anzilla mengembuskan napas berat lalu memilih menutup bukunya lagi. "Ck, mereka apa tak lelah terus mengusik hidupku? Segala sesuatu yang aku lakukan dengan khalifah selalu saja dianggap pertengkaran," keluh Anzilla tak habis pikir. Padahal cerita aslinya tidaklah seperti itu. Mereka hanya beradu argumen kecil, bukan bertengkar hebat seperti yang dibicarakan orang-orang.
"Yang Mulia!" suara panggilan itu terdengar dari arah pintu masuk. Salsal pun tampak tak kalah hebohnya saat datang ke sana. Sudah bisa dipastikan ibu dari permaisuri Zubaidah itu juga pasti penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya.
"Apa ibu ke sini juga ingin memastikan bahwa gosip yang tengah ramai di luar benar?" tebak Anzilla ketika Salsal sudah berdiri di depannya.
"Dari mana Anda tahu kalau hamba ke sini ingin menanyakan itu, Yang Mulia?"
"Halima baru saja mengadu padaku soal itu," jawab Anzilla. Salsal pun mengalihkan perhatian pada pelayan putrinya.
"Saya juga baru mendengarnya, Nyonya, bahkan menurut beberapa orang, para petinggi kerajaan meminta diadakan rapat untuk pencopotan ratu dan penobatan Putra Mahkota sesegera mungkin, karena rumor yang beredar permaisuri dimasuki roh jahat hingga pikiranya sudah tak stabil lagi untuk menjadi ibu negara."
Mendengar ucapan itu, Salsal dan Anzilla tampak kaget. "Apa maksud semua ini? Apa putramu bermaksud menggulingkan ayahnya sendiri? Apa yang sebenarnya kau bicarakan dengan Yang Mulia raja semalam, Permaisuri? Kenapa semua ini bisa terjadi? Sudah aku bilang untuk berhati-hati bukan? Lagi pula apa kau benar-benar sudah tak peduli dengan nasib putramu? Bukanya dulu kau yang bersikeras mendukungnya?" tanya Salsal bertubu-tubi
"Aku hanya bicara apa adanya, Al-amin bukan kandidat yang tepat untuk menjadi raja, Ibu, kau tahu sendiri perangainya," ujar Anzilla keukeh.
"Permaisuri, jaga bicaramu!" tegur Salsal dengan nada geram. Dia menatap tajam pada putrinya sebagai tanda peringatan. Matanya bergerak ke sana kemari seolah memastikan tak akan ada yang mendengar pembicaraan mereka.
"Kau tahu apa akibatnya kalau sampai ada yang mendengar ucapanmu? Posisimu bisa dalam bahaya. Kau bisa-bisa akan dianggap pengkhianat oleh klan kita sendiri. Kau tak lupa bukan apa yang dulu pernah sepupu sekaligus iparmu, Al-Hadi, coba lakukan pada mendiang ibu suri Khaizuran? Kalau dia bisa mencoba membunuh ibunya, maka putramu pun bisa melakukan itu," sambung Salsal mengingatkan.
Anzilla menatap ibunya penuh sesal, dia sama sekali tak menyangka bahwa pembicaraannya dengan khalifah semalam ada yang mendengarnya. Anzilla mengembuskan napas lalu mulai bercerita yang sebenarnya.
"Sudah lewat tengah malam, Yang Mulia, apa Anda tidak lelah terus berbicara seperti sekarang?" tanya Anzilla pada laki-laki yang kini mendekap tubuhnya dengan erat dalam posisi berbaring. Kepalanya dia sandarkan pada dada bidang khalifah.
"Aku hanya ingin menghabiskan waktu seperti ini denganmu. Rasanya sudah lama sekali kita tidak seperti ini, bercerita banyak hal."
Anzilla terdiam, dia tak menjawab ucapan khalifah karena bingung harus jujur atau tidak tentang siapa dia sebenarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anzilla dan Sang Khalifah
Historical FictionAnzilla Jhonson, wanita Amerika keturunan Yahudi yang begitu benci dengan islam karena cerita turun-temurun di keluarganya. Dia sengaja berkuliah di University Of Bagdad untuk membuktikan kebenaran tentang sejarah buruk kekhalifahan islam termasuk H...