Perahu sudah mengapung di atas air, dan Phalasia berupaya menarik tali sementara Arin membantu Ringo menaiki perahu. Hodomos duduk dengan wajah masih mengantuk di dalam perahu yang tidak terlalu besar. Prinka, di bagian depan perahu, sibuk mengumpulkan tanaman rambat yang belum digunakan.
Prinka menempatkan tanaman-tanaman tersebut dalam sebuah kotak sebagai tempat penyimpanan. Dengan melihat Hodomos yang masih terpesona, Prinka tersenyum dengan wajah jahil, menutup pintu perahu, lalu menunduk sambil menadahkan tangannya untuk menampung air.
Hodomos bangkit dari duduknya, mengusap wajah yang basah, dan terkejut ketika Prinka menyapanya, "Astaga, kamu mengejutkanku."
"Jangan melamun, Hodomos," kata Prinka sambil tertawa. Ringo bergurau kecil sambil memberikan selembar kain kecil kepada Hodomos.
Prinka duduk dan merasakan perahu mulai bergerak ke depan. "Berada di atas kapal membuat cuaca panas ini terasa lebih nyaman dengan angin," ujar Prinka.
"Namun, itu tidak akan semudah yang dibayangkan. Aku ragu cuaca panas ini akan bertahan lama," jawab Ringo, membuat semua orang terkejut, termasuk Phalasia yang baru saja bergabung di depan perahu dengan dayung di tangannya.
Ringo mengambil napas dengan perlahan sambil bangkit dari tempat duduknya. Ia berdiri menghadap ke arah laut. Phalasia mulai menggunakan dayung untuk memastikan bahwa perahu bergerak ke tengah-tengah lautan. Meskipun dia memiliki kemampuan menggunakan kekuatan airnya, kali ini dia memilih untuk menghemat energi terlebih dahulu.
Apa yang diucapkan oleh Ringo terjadi dalam waktu yang singkat. Panas yang sebelumnya menyengat kulit mereka berubah menjadi dingin yang menusuk. Angin kencang tiba-tiba datang dari belakang, mendorong perahu anak dewa beberapa meter dari posisi sebelumnya. Secara refleks, semua orang berpegangan pada perahu dan dinding rumah agar tidak terhempas atau tercebur ke laut. Perahu yang mereka naiki tidak memiliki pagar sebagai pengaman.
Arin merasa muak dengan peristiwa baru saja terjadi di dalam labirin. "Aku benar-benar tidak mengerti dengan cuaca di labirin ini. Astaga... Aku sangat ingin marah, tapi tidak mungkin aku merusak perahu kita."
Phalasia mendekati Arin dan memeluknya saat emosinya berubah secara mendadak. "Tenanglah... Aku tahu kamu sudah bosan dengan semua ini. Tapi, aku minta sabar. Saya yakin setelah ini kita akan keluar dari labirin, menyelamatkan ibu kita, dan membawa Ringo kembali ke Olympia."
Melihat Ringo yang juga ikut memeluk Arin, Hodomos dan Prinka bergabung dalam pelukan hangat persaudaraan. Dua kakak tertua menatap ketiga adiknya dengan senyuman. "Maafkan aku," ucap Arin dengan lembut.
Ringo terus menatap langit dengan mata yang penuh dengan kesedihan. Ia berharap dapat melihat awan di langit biru atau bintang di malam yang gelap. Menjalani hidup di dalam labirin seperti sekarang bukanlah keinginannya. Dalam keheningan, banyak kenangan melintas di benaknya, termasuk ucapan sang kakek. Air matanya tanpa disadarinya membasahi pelupuk mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ringo : Catching Fire (Revisi)
Pertualangan[Jangan Plagiat] Di alam semesta yang penuh dengan dewa dan kutukan kuno, lima jiwa berani merentasi utara yang gelap untuk menemui dewa yang terbantai. Tetapi takdir memiliki rencana lain, ketika empat di antaranya menghilang tanpa jejak, meninggal...