23

909 183 7
                                    

Kukira Riu hendak membawaku ke tempat formal. Contohnya, kantor yang mengurus administrasi kewarganegaraan. Barangkali ia ingin membantu mengamankan identitas sekaligus memudahkanku berkelana ke sepenjuru Eartium dengan akses legal. Namun, ternyata dia justru mengajakku masuk ke pusat perbelanjaan.

“Baju yang kamu pakai terlalu tipis,” katanya sambil lalu.

Dia sepertinya tidak peduli pendapatku mengenai pakaian. Buktinya dia masuk ke toko, menemui pramuniaga, dan meminta mereka mencarikan pakaian seukuranku. Jaket, mantel, celana, sepatu, bahkan pakaian yang sepertinya tidak mungkin kukenakan dalam acara apa pun.

Dalam cerita romantis pasti adegan semacam inilah yang akan membuatku iri sampai dengki. Bagaimana tidak cemburu? Bayangkan membaca percintaan indah karakter cowok dan cewek, sementara kehidupanku sendiri pahit minta ampun. Pasti di hatiku terbersit sedikit keinginan mengenai andai saja ada seseorang sudi memperlakukanku sedemikian....

[Padahal aku juga memperlakukanmu dengan cara baik.]

Omongan Putih tidak masuk hitungan.

Pertama, dia bukan manusia.

Kedua, dia tidak bisa mendampingiku secara romantis. Kami beda spesies. Dia macan, aku manusia.

Ketiga, aku yang belanja. Sekalipun Putih yang memberiku uang, tapi akulah yang bertugas membelanjakan semua kebutuhanku. Dengan kata lain, tidak ada yang namanya adegan romantis.

[Dia juga tidak bisa menjadi pacarmu!]

Hiiiih siapa pula yang ingin Riu jadi pacarku? Aku tidak tertarik! Setelah dia mengatai topeng beruk milikku dan sempat ingin membuatku jadi mayat hahahaha tidak ada yang namanya posisi kekasih! Aku bukan masokis! Masih banyak ikan di laut, buat apa mengejar yang tidak jelas?

[...]

Aku membiarkan para pekerja memberiku saran mengenai baju ini dan itu. Sama sekali tidak ada keinginan membeli apa pun. Alasan utama yakni, harga pakaian yang ada di toko pilihan Riu terlalu mahal. Sebagai kaum hemat pangkal kaya, aku memilih membeli di bagian obral maupun bekas. Selama layak pakai, mengapa harus malu?

“Bungkus semua,” Riu memberi intruksi. Dia mengambil sebuah kartu seukuran kartu KTP. Warnanya hitam dan sepertinya tulisan yang ada di sana berwarna emas.

Petugas langsung menerima kartu milik Riu, menggeseknya di mesin, dan kemudian mengucapkan kalimat ala pekerja kapitalis.

Aku menganga menyaksikan beberapa tas karton berisi pakaian yang harganya pasti tidak murah.

“Ayo,” ajak Riu.

“Barangnya?”

“Pekerja lain akan membantu mengirimkannya ke alamat yang kuinginkan.”

Orang kaya memang beda.

[Nak, kekayaan bukan segalanya.]

Omong kosong! Manusia tidak menerima petuah hidup sebagai alat bayar! Mereka membutuhkan uang sebagai alat kesatuan transaksi.

[Aku serius! Uang bukan segalanya!]

Kutulikan diriku dari ceramah Putih. Untung ada Riu, setidaknya aku bisa mengalihkan pikiran dari keinginan mendebat semua opini Putih. Darah dalam diriku bergolak, menolak patuh, dan hanya ingin melampiaskan emosi melalui jalan baku hantam.

“Makan dulu,” kata Riu. Dia melenggang masuk ke restoran yang ada di pusat perbelanjaan.

“Errr, Riu,” panggilku, ragu. “Apa tidak sebaiknya kita makan di tempat lain?”

Masalahnya ialah, restoran yang Riu masuki. Bukan restoran cepat saji yang menawarkan menu ayam goreng tepung, roti isi, ataupun minuman bersoda tinggi gula. Restoran yang kumasuki pastilah menawarkan makanan mahal yang bahkan memikirkannya pun aku tidak mampu. Belum pernah ke sana dan aku tidak bisa menjelaskan perasaan yang ada dalam diriku.

ALL OF THEM WANT TO KILL HER (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang