16. Siapa Ayahnya?

72 5 0
                                    

"Kita pulangkan dia?" Itulah yang ditanyakan Ayah sebelum kami berpisah tadi sore.

Aku menoleh ke dalam mobil, tempat Pandu duduk. Pemuda itu belum mengatakan sepatah kata pun sejak tadi. Alih-alih keangkuhan, aku bisa melihat kesedihan di matanya. "Iya, Yah."

"Kalau dia kabur, bagaimana?"

"Tidak akan," jawabku. "Percaya sama Maya."

Ayah menarik napas panjang, lalu merogoh saku celananya untuk mengeluarkan sekotak rokok. "Tampaknya ayahmu ini memang harus selalu percaya ucapan putrinya ya, May?"

"Bukan begitu, Yah."

"Kamu memang pandai merayu orang, May. Sama seperti ibumu!" Tentu beliau hanya bercanda saat mengatakannya. Lalu, mengusap kepalaku dan pergi.

Namun, kenapa bisa begini?

Saat aku sampai, di halaman sudah ramai orang. Bahkan para tetangga juga ikut berkumpul. Dan itu membuatku panik. Dadaku nyeri sekali. Takut.

Bapak buru-buru turun, berlari menuju rumah sementara aku yang hendak menyusul ditahan oleh Ilham. Dia menyentuh pergelangan tanganku dengan tatapan pedih.

"Aku nggak punya waktu, Ham!" tegasku.

"Minum dulu!" lanjutnya sambil mengeluarkan sebotol air mineral dari tas yang dia bawa.

Aku menggeleng. "Aku nggak haus, Ham! Aku harus masuk!" kataku sambil menepis tangannya kasar. Kubuka pintu pikap dan berlari menuju rumah. Tempat di mana sudah banyak orang duduk di ruang tamu.

Ada lima orang pria dewasa –yang kukenali sebagai ayah dan paman-paman Pandu, termasuk Pandu sendiri –dan Bapak di sofa depan. Sedangkan Ayah dan Bunda duduk di sofa depan ruang televisi.

Panik, itulah yang aku rasakan. Lalu, saat kulihat Ira berdiri di ujung tangga dan melambaikan tangan padaku, aku pun menghampirinya.

"Kenapa ini, Ra?" tanyaku setengah berbisik.

Ira menggeleng. Dia masih terisak. Ketakutan."Orang-orang datang bawa golok. Mereka mau bunuh Ayah, Mbak."

Hah? Aku tak percaya ini.

Kupeluk adik bungsuku dengan erat.

Ya. Betapa bodohnya aku! Kenapa bisa aku melupakan hal ini? Maksudku ..., ternyata begitu ayahku memulangkan Pandu, melihat putranya babak belur tentu mereka tidak terima dan ..., meminta penjelasan.

Aku tak bisa mendiskripsikannya, yang jelas aku kacau. Tubuhku lemas. Bahkan kakiku ambruk, maksaku bersimpuh di lantai.

*_*

"Kami paham kalau panjenengan marah, Pak Salman. Hanya saja, kan tidak perlu pakai kekerasan apalagi sampai membuat putra kami babak belur begini." Salah satu paman Pandu bicara.

Ayah sudah berpindah ke meja ruang tamu, ditemani Bapak. Sedangkan aku, Bunda dan Ira memperhatikan dari kejauhan. Kami tak berani mendekat. Harap-harap cemas. Bahkan saling bergenggaman tangan. Mencoba berbagi kekuatan.

"Bagaimana ini, Bun?" bisik Ira.

Namun, baik Bunda maupun aku hanya menjawabnya dengan menempelkan tangan ke mulut. Memintanya tidak bersuara.

"Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Pandu, dan misalnya benar anak itu adalah anaknya ..., apa tidak kasihan?" sahut paman yang berkumis tebal. "Lagipula, Pandu dan Zahra adalah orang dewasa. Mereka bukan anak remaja lagi. Alangkah lebih baik jika sejak awal kita bicarakan secara kekeluargaan. Kalau sudah begini? Semua tetangga jadi tahu. Bikin malu."

"Apalagi mereka berdua guru!" sambung Pak Gofar, ayah Pandu. "Bukankah begitu, Pak Hamdan?"

Meskipun hanya bisa memandang punggungnya tapi aku tahu kalau Bapak tengah menarik napas panjang. "Begini, Mas. Saya atas nama kakak saya, meminta maaf sebesar-besarnya kepada Mas Gofar dan keluarga. Terutama kepada Nak Pandu. Maafkan keluarga Bapak ya, Le."

Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang