"Afdan! Tangkap!"
Suara kecil Thalita yang terdengar kencang, membuat seorang anak laki-laki buru-buru mengambil posisi untuk menangkap bola. Mereka sedang bermain voli.
Thalita saat itu masih berusia 10 tahun, dan Afdan berusia 12 tahun. Dulu, mereka adalah tetangga dekat. Sehingga tak heran jika mereka sangat dekat seperti saudara.
"Kasih aba-abanya jangan mendadak dong! Kan aku belum siap, Ta!" protes Afdan.
Thalita tertawa. "Aku sengaja," katanya.
Mereka lanjut saling melempar bola, hingga bola yang Thalita lempar tak sengaja meleset ke jendela tetangga dan membuat kacanya pecah.
"Ta! Hati-hati dong!" tegur Afdan panik. Melihat Thalita yang bersembunyi di balik punggungnya sembari gemetar ketakutan, Afdan tak tega jika harus memarahinya.
"Woy! Siapa yang lempar?" Suara dari dalam rumah tempat jendela.
"Afdan, aku takut," rengek Thalita memukul-mukul punggung Afdan. Apalagi ketika seorang wanita paruh baya dengan wajah garang muncul di tengah jendela yang baru saja berlubang.
"Maaf, Bu," kata Afdan sopan.
"Kalian berdua minta dijewer, ya?" Wanita itu memandang Afdan dan Thalita dengan pandangan berapi-api.
"Dalam hitungan ketiga, lari," bisik Afdan. Thalita mengangguk cepat. "Satu ... dua ... tiga!"
Thalita lati terbirit-birit menuju rumahnya yang tak begitu jauh dari sana. Namun, tidak dengan Afdan.
Thalita menoleh ke belakang, melihat Afdan sedang habis dijewer oleh wanita paruh baya itu.
"Afdan kenapa nggak ikut lari?" tanya Thalita pada Afdan di hari lain. Tepatnya ketika mereka jalan kaki menuju sekolah pada pukul enam dini hari.
"Kalau aku lari, ibu itu akan ngejar kita, dan akhirnya kamu juga kena jewer," jelas Afdan.
"Makasih," ungkap Thalita senyum-senyum sendiri.
Afdan terkekeh. "Jangan makasih doang, panggil aku 'kakak'," balasnya.
"Nggak mau," tolak Thalita.
"Kenapa sih emangnya? Manggil 'kakak' doang apa susahnya?"
"Aku gengsi manggil 'kakak', lagian kalo manggil nama kan kelihatan lebih akrab."
Afdan menghela napas berat. Pasrah saja dengan pilihan Thalita. Gadis kecil itu susah sekali untuk memenuhi satu permintaan kecil Afdan.
"Bentar lagi aku lulus, mungkin akan lanjut SMP ke luar kota." Afdan memberitahu. Thalita tertegun beberapa saat.
"Ke mana?" tanya Thalita.
"Nggak tahu, mama sama papa masih berunding mau pindah ke mana," jawab Afdan.
Thalita mendadak girang, senyumnya lebar sekali. Sangat antusias mendengar kata 'Luar kota' yang Afdan ucapkan.
"Asik dong jalan-jalan," kata Thalita polos.
Afdan melongo melihat Thalita begitu excited. Padahal dia sendiri merasa berat untuk pergi.
"Kenapa seneng?" tanya Afdan bingung.
Spontan, Thalita menjawab, "Kan mau ke luar kota."
"Siapa yang mau ngajak kamu?"
Senyum Thalita seketika pudar, berubah jadi sedih. "Kak Afdan nggak mau ngajak Thalita?"
***
"Put your hands up, everybody!" Bambang berteriak sembari mengotak-atik DJ mixernya.
Malam ini, taman belakang rumah Erwin sudah mirip diskotik. Hanya saja tidak ada satupun gadis penari tiang yang memakai pakaian kurang bahan. Malam ini adalah pesta lajang khusus para remaja cowok.
"I'm not gonna make it alone lo-lo-lo-lo-lo-lo-lone!"
Semua ikut menyanyi bareng suara Mbak Ava Max yang terdengar kencang sekali. Mereka juga loncat-loncat mengikuti irama. Ada juga yang duduk santai sambil menonton ditemani minuman-minuman 'haram' yang bisa membuat mata berkunang-kunang. Beberapa ada asik main judi. Tak sedikit dari mereka yang rakus menghabiskan tiga piring cemilan dalam waktu setengah jam.
Erwin menghela napas berat melihat kekacauan yang terjadi. Dia memilih untuk duduk di pojokan dan makan pisang. Rasanya hanya dia yang masih waras di tempat ini.
Erwin membuka ponselnya, ada satu pesan dari Thalita yang dikirim tadi sore. Dan Erwin baru sempat membukanya sekarang.
"Gue tadi ke dokter buat cek kandungan, kata dokter gue baik-baik aja, cuma tidurnya yang harus dijaga. Malam ini mungkin gue akan tidur cepet. Itu kalau gue bisa tidur," kata Thalita dalam pesannya.
Erwin menggigit pisangnya yang tersisa separo, dia berpikir, "Kenapa dia cerita ke gue?"
Erwin tak tahu harus membalas apa, hampir lima menit ponselnya menampilkan forum pesan Thalita tanpa Erwin sentuh sama sekali.
Lagu berganti, dan Erwin tak menyadarinya. Tak peduli teman-temannya sibuk saling beradu suara emas. "Aku suka dia sama dia juga suka!"
Erwin akhirnya membalas, "Jangan lupa doa sebelum tidur."
Hah? Erwin perhatian? Dia sama sekali tidak sadar akan perhatian kecil yang baru saja dia kirim. Erwin mematung, jantungnya berdegup kencang. Dia ragu dengan pesannya barusan.
Erwin melahap gigitan terakhir pada pisangnya, berniat ingin menghapus pesan itu. Namun, ketika dia melempar kulit pisangnya ke tempat sampah, suara nyanyian teman-temannya membuatnya tersentak sekaligus tersindir.
"Cinta MONYET!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI RAHASIA ERWIN
Teen Fiction[UPDATE SESUAI TARGET!] . "Kakak gue yang bikin lo bunting, kenapa gue yang harus nikahin?" - Erwin. ***** Hidup seorang ketua genk motor yang diidolakan banyak gadis, tak semulus kelihatannya. Sifat dingin dan cuek Erwin bukan tanpa alasan, ada ban...