26 Andara Mencubit Kedua Puting Ario

3.1K 59 10
                                    

Dalam sebuah kamar di  gedung kepolisian yang tertutup rapat di Jakarta, dinding-dinding yang  terbuat dari beton abu-abu berbaur sempurna dengan aroma kertas yang  memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang hampir melekat dengan  ketegangan dan b...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dalam sebuah kamar di gedung kepolisian yang tertutup rapat di Jakarta, dinding-dinding yang terbuat dari beton abu-abu berbaur sempurna dengan aroma kertas yang memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang hampir melekat dengan ketegangan dan beban sejarah kejahatan yang terekam.

Ruangan ini adalah tempat di mana narasi-narasi gelap dari kota ini berkumpul, mengumpulkan diri dalam lembaran dokumen yang terbaring di atas meja-meja jati yang dingin dan keras, percakapan para polisi yang saling tumpang tindih

Ario duduk terdiam, matanya menatap peta besar Indonesia yang tergantung di dinding. Garis merah dan penanda di peta itu mencerminkan pola pergerakan pelaku kejahatan yang kelihatannya menuju Jakarta.

Pikiran Ario tidak sepenuhnya ada di situ. Gambaran wajah Dewo, anaknya, menghantui setiap sudut pikirannya. Percakapannya dengan Dewo sebelum anaknya pergi diputar ulang di otaknya untuk kesekian ratus kali.

Di sekitarnya, diskusi rekannya semakin memanas.

"Bisa jadi ini adalah sekte yang menjalankan ritual aneh," seorang detektif senior dengan rambut yang mulai memutih berujar, mencoba menjalin potongan-potongan teka-teki yang mengerikan ini. Diskusi itu semakin memanas, seorang wanita muda dengan nada skeptis menyatakan, "Atau mungkin ini adalah sindikat kriminal terorganisir yang besar, mengendalikan semua ini dari balik layar, menggerakkan bidak-bidak mereka dengan kejam."

Tiba-tiba, sebuah tuduhan terdengar dari Doni, seorang polisi berperut buncit "Ini jelas kerjaan dari para homo, dunia ini sudah mau kiamat karena mereka," katanya dengan nada yang penuh dengan kemarahan dan kebencian.

Ario merasakan detak jantungnya meningkat. Ia mencoba menahan emosinya, namun semakin sulit untuk tetap tenang. Kepalannya tergenggam demikian erat, seolah-olah mencoba menahan gelombang amarah yang siap untuk meluap.

Andi, kolega kurus berkumis ikut bergabung dalam percakapan dengan raut wajah yang penuh frustasi, tangannya gemetar saat dia berbicara, "Sekarang ini video-video porno LGBT makin banyak beredar. Departemen Anti-Pornografi Internet seolah-olah tidak bisa berbuat apa-apa, culun sekali mereka itu, desas-desus mengatakan semua ini dari jaringan prostitusi rahasia yang dikepalai oleh oknum sadis laknat."

Doni segera menimpali, menekankan setiap kata dengan kebencian yang mendalam, "Ini epidemi baru, Bang. Mereka ini menginfeksi masyarakat kita, didukung oleh para aktivis Arus Pelangi yang terus mengkalim bahwa mereka dilahirkan begitu."

Andi mengangguk dengan keras, tambahannya meluap dengan kefrustasiannya, "Dan sekarang mereka mendapat dukungan dari politik. Siapa pejabat korup di belakang mereka? Pasti Arus Pelangi yang jadi biang kerok semua masalah kita, Bang."

Bravo, satu-satunya teman kantor yang akrab dengan Ario, kemudian membalas, "Arus pelangi adalah gerakan yang legal dan damai, mereka bekerja untuk membantu anak-anak terlantar dan korban HIV."

PENTIL DEWOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang