"Al, sampai kapan aku harus menyimpan rahasia ini? Aku tidak bisa terus menyembunyikannya dari Filistin!"
Entah sudah berapa kali selama empat belas tahun terakhir, Asima selalu mendesak Al Quds untuk jujur pada Filistin jika Bert masih hidup.
"Sudah kubilang aku tidak akan pernah memberitahunya. Aku tidak ingin Filistin bersama lelaki Berengsek itu."
Tiba-tiba janin yang berada dalam kandungannya menendang kencang, seolah dapat merasakan kepedihan hati sang ibu. Asima mengusap pelan perut buncitnya dengan penuh kasih sayang. Saat ini dia tengah mengandung anak pertamanya setelah sepuluh tahun menikah dengan seorang lelaki dari Ramallah.
Selama belasan tahun, wanita itu selalu dihantui oleh rasa bersalah karena menyimpan rahasia tentang Bert dari Filistin. Hidupnya tidak tenang. Terlebih lagi, dia tahu jika sampai detik ini Filistin masih belum bisa melupakan Bert.
"Aku akan menjodohkan Filistin dengan seorang dokter bedah. Dia lelaki yang shaleh dan dari keluarga baik-baik. Aku yakin, dia pasti bisa menjadi suami dan imam yang baik untuk Filistin."
Asima sontak menganga. "Ternyata selama ini, kaulah yang egois, bukan Bert! Apa yang menurutmu baik belum tentu baik untuk Filistin! Sampai sekarang, Filistin masih sangat mencintai Bert. Bert adalah cinta pertamanya." Dada Asima naik turun seiring emosi yang meledak di hatinya. "Apa kau pikir Filistin akan bahagia jika menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya? Kau sangat egois! Kau tidak memikirkan bagaimana perasaan Filistin."
Al Quds tersentak. Lidahnya menjadi kelu. Sebenarnya, dia pun selalu dihantui oleh rasa bersalah. Namun, dia tidak ingin Filistin sampai bertemu lagi dengan Bert. Dia ingin Filistin menikah dengan lelaki pilihannya.
"Filistin sudah menjadi seorang dokter gigi. Dia sudah mewujudkan cita-citanya. Dia sudah bekerja. Apa lagi yang kau takutkan? Kenapa kau sangat tega memisahkan mereka?" Asima menahan napas.
"Ja-jadi Bert masih hidup?"
Suara serak Filistin membuat Asima dan Al Quds menoleh. Mereka berdua membeku dengan mata melebar melihat sosok Filistin.
"Ti-tidak, Filin. Ka-kau salah paham. Bert sudah men-"
"Cukup, Kak! Aku sudah mendengar semuanya! Kenapa kau sangat jahat?" Filistin mengusap kasar air mata yang jatuh ke pipinya.
"Ja-jadi, semua ini adalah rencana si Kriting?" tanya Bert setelah Filistin selesai menceritakan semuanya.
Filistin mengangguk, lalu menyeka kedua pipinya yang basah. Hatinya tenang karena telah menceritakan semuanya pada Bert.
"Di mana si Kriting? Kenapa dia tidak datang ke sini? Aku harus memberinya pelajaran!"
"Kak Al dan Kak Asima tidak bisa datang ke sini. Mereka hanya menitipkan salam untukmu dan Kak Al Quds meminta maaf padamu atas semua kesalahannya selama ini. Apa kau bersedia memaafkannya?" Kedua iris birunya berbinar, menatap Bert sangat hangat.
"Tidak bisa! Aku ingin berbicara langsung dengannya! Apa kau bisa meneleponnya?"
Mulut Bert sudah sangat gatal ingin memaki lelaki sialan itu. Dia tidak habis pikir, kenapa Al Quds sangat tega mempermainkannya selama ini? Dia nyaris kehilangan semangat hidup karena kabar kematian Filistin. Ternyata semua itu hanya sandiwara si rambut kriting saja. Bert berdecih.
Filistin menggeleng. "Aku tidak bisa meneleponnya. Kak Al Quds sedang berjihad. Sudah lama dia menetap di Gaza dan menjadi anggota pasukan sayap militer Hamas. Dia hanya menemuiku sekali, sebelum dia mengizinkanku berangkat ke sini.
"Sudahlah, Nak. Jangan mempermasalahkan apa yang sudah terjadi. Yang terpenting, sekarang Al Quds sudah merestui hubungan kalian berdua."
Kening Bert berkerut saat Yasemin merangkul lengannya, mencoba untuk menenangkan. "Tunggu dulu. Apa Ibu tahu jika Filistin masih hidup dan Ibu ikut menyembunyikannya dariku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa 2
RomantikFollow dulu sebelum baca. Bert Ertugrul, seorang personel dari pasukan khusus IDF, Unit Mistaravim yang kaku, berhati dingin dan tidak pernah percaya dengan cinta. Sersan Bert tidak pernah ingin memiliki ikatan serius dengan seorang wanita. Selama k...