Prolog

192 13 7
                                    

Malam pertengkaran.....

Nafasku membaru menatap Jesan yang berdiri di hadapanku dengan wajah kusutnya. Mataku hanya bisa berkaca-kaca merasakan denyutan hati yang terasa pilu. Emosiku rasanya terlalu sesak ingin meledak.

"Kenapa? Apa yang salah di hubungan kita?" Aku bertanya dengan nada datar. Udara dingin di sekitar kami tak sanggup memadamkan hatiku yang panas.

"Ga ada yang salah." Balas Jesan sambil menatapku lekat-lekat. Pencahayaan minim di depan ruko dalam gang tak menghalangiku untuk melihat matanya yang tajam menyoroti ku.

"Kita sama-sama tau kalo hubungan kita ga bakal bisa berakhir bahagia." Lanjut Jesan, kini tatapannya terlihat seakan putus asa. Aku menghela nafas kasar, apanya yang ga bisa berakhir bahagia?

"Lo ga mau berusaha? Kita bisa sama-sama nyari jalan." Nada suaraku mulai meninggi. Jesan kulihat mulai terpancing emosi, tangannya mengepal.

"Kamu pikir itu mudah?" Tanyanya menantang ku.

"Alasan kamu ga masuk akal. Apanya yang ga bisa berakhir bahagia?" Balasku sambil tertawa sarkas. Jesan menghela nafas.

"Bagian mana yang ga masuk akal? Saya ga mau bohong kalo hubungan kita ga ada yang salah." Ucap Jesan. Jelas itu menyakiti hatiku, untuk beberapa saat aku terdiam membisu.

"Apa salahnya?" Tanyaku dengan suara yang sedikit bergetar, menantang pria yang lebih tinggi di hadapanku ini untuk menyebutkan salahnya.

"Kita berdua cowok Tiko!" Jesan berkata penuh penekanan. Aku menghela nafas berusaha menetralkan gelora amburadul di hatiku.

"Terus dengan itu kamu boleh selingkuh?" Ucapku tak ragu lagi menunjukkan amarah. Jesan membuang muka seraya menghela nafas, ia tak langsung menjawab.

"Bukan gitu." Jesan menggaruk kepalanya tampak kesal. Membuatku semakin penasaran, alasan apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan.

"Terus apa?" Tanyaku, lubang hidungku sepertinya sudah tak terkontrol kembang-kempisnya. Jesan kembali terdiam cukup lama.

"Saya cuman pengen ngerasain ngejalin hubungan kaya temen-temen saya. Saya ga mau pura-pura semua baik-baik aja, semua bakal berakhir bahagia." Jesan berkata dengan frustasi. Kami lalu diam di tengah suara nafas kami yang jelas terdengar.

"Selama kita pacaran lo ga pernah bahagia?" Aku berkata sambil melangkah mendekatinya, langkah kecil.

Mata Jesan sedikit terbelalak, aku yakin dia ingin menyampaikan sesuatu, membalas perkataanku. Namun, mulutnya tak juga bersuara dalam sejurus waktu.

"Gua susah payah nyari cara biar hubungan kita ga stuck di situ-situ aja, biar hubungan kita ada perkembangannya. Dan lo malah lari ke cewe itu!" Tanganku menunjuk Jesan dengan suara yang tajam memecah keheningan. Tak peduli apakah ada orang yang akan mendengar atau tidak.

Jesan sepertinya mulai marah denganku, seketika bahuku dicengkeram olehnya dan badanku di dorong ke tembok, suara gemertak dinding besi ruko sontak mengalun, kurasakan setitik perih di punggungku. Nafas Jesan terengah dengan mata memerah. Dia menatapku lama. Matanya tajam sekali, wajahnya tegang entah menahan apa. Ia menunduk, "bagi saya hubungan kita ga ada artinya."

Ucapan penuh penekanan itu terdengar berat menyeramkan. Amarahku seketika sirna, argumen yang hendak ku sampaikan melawan ucapan jesan juga sontak lenyap tergantikan diam dan kosong yang aku tak tau mengapa. Dadaku yang tadinya dipenuhi bibit murka kini berganti kesedihan dan kehampaan yang sia-sia. Jesan perlahan melepaskan cengkraman tangannya di bahuku, aku enggan menatapnya. Dan dia akhirnya mengambil langkah untuk pergi, aku tak perduli. Yang ku lakukan sekarang bersandar di dinding ruko. Menunggu pikiranku bekerja seperti semula lagi.

Aku tersenyum miring menatap pria tinggi yang berjalan meninggalkanku. Menertawakan perkataannya bahwa hubungan kami tak ada artinya, lalu kenapa dia mau pacaran denganku? Dasar tidak jelas. Aku mengumpat sambil mengacak rambutku di depan ruko yang sepi. Persis seperti orang gila.

Izinkan Aku Menciummu Sekali Lagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang