24

927 178 3
                                    

Riu melajukan mobilnya semakin menjauh dari daerah yang kukenali. Semenjak tiba di kota ini, setelah kabur dari kota kumuh, aku belum sempat menjelajah ke mana pun selain warung tempatku bekerja dan ... iya, aku anak rumahan menyedihkan yang tidak memiliki pengetahuan. Pada dasarnya aku semenyedihkan itu hahahaha! Andai aku anak rumahan dengan wawasan luas, tahu cara membawa diri, dan tidak takut dengan label dari masyarakat ... ya sudah pasti aku tidak akan memiliki masalah hidup. Ibarat buku pastilah masalahku tebalnya melebihi kamus bahasa.

Bukannya aku ingin jadi anak rumahan yang tidak tertarik mengambil tantangan, melainkan segala hal jadi tidak menarik saat nyawaku jadi taruhan utama. Cewek lain bisa bebas menikmati hidup dan mengambil keputusan karena lingkungan memadai setiap keinginannya. Aku tidak bisa sesuka hati. Ada taruhan, risiko, dan jangan lupa bahwa aku individu dengan identitas ilegal. Hukum di dunia Eartium berbeda dengan bumi. Sekali aku terperangkap dalam jaring, tidak ada jaminan.

[Kamu masih bisa berusaha mengubah hal-hal yang tidak menyenangkan. Ingat, kamu punya aku?]

... dan macan sakti yang hanya muncul di saat ia suka saja. Oke, aku ingat.

[Aku dengar pikiranmu....]

Bahkan macan sakti pun tidak suka mendengar opiniku. Luar biasa.

“Kamu mungkin akan menyukai mereka,” kata Riu memulai pembicaraan yang kupikir tidak akan terjadi. “Mereka pada dasarnya sekumpulan manusia dengan karakter menakjubkan.”

“Kedengarannya keren,” dengusku sembari menempelkan kepala ke kaca jendela mobil. Hawa dingin membelai kulit, pelan dan lembut. Cukup ampuh mengusir kegundahan yang mulai merayapi diriku.

“Apa yang mereka, orang-orang Bulan Darah, perbuat kepadamu? Pahit sekali kedengarannya.”

Aku mengedikkan bahu, pandanganku terfokus ke jalanan. Ternyata di bagian ini, area yang Riu lalui, salju telah turun. Di pinggir jalan tertumpuk timbunan salju yang mirip es serut. Seseorang bisa saja menuangkan sirup dan kujamin ada anak kecil yang bersedia mencoba sesendok ujian perut.

“Kami nggak akan memaksamu melakukan hal berbahaya.”

“Sedari awal kamu menyuruhku turun ke lapangan pun bisa kuartikan sebagai bahaya,” aku mendebat pernyataan Riu. “Di sini, duniamu ini, nggak ada jaminan aman.”

“Kamu bicara seolah bukan berasal dari dunia yang sama denganku.”

“Memang,” aku membenarkan, “duniaku jauh lebih mengerikan daripada milikmu. Monster bukanlah vampir tukang isap darah ataupun sekelompok manusia pemuja iblis, melainkan sebentuk hukum yang sifatnya mencekik leher setiap orang. Hukum yang tumpul di atas, tapi tajam ke bawah. Korupsi tidak hanya terjadi di pemerintahan, tapi juga di akar rumput. Parahnya hidup yang dijalani beberapa orang di sana amat menjengahkan. Kamu bangun tidur, mandi, bersiap menyelesaikan pekerjaan, dan mungkin mulai berpikir bahwa pilihan tetap bertahan hidup merupakan sebentuk kesalahan.”

Riu tidak mengatakan apa pun. Bahkan Putih pun tidak membalas ucapanku yang terdengar begitu sinis sekaligus memuat emosi negatif.

“Maaf,” kataku sambil lalu, “aku banyak pikiran.”

“Bisa dimengerti.”

Setelahnya tidak ada percakapan apa pun. Putih, yang kupikir hendak memberiku nasihat bijak, pun ternyata diam saja.

Barangkali aku bertindak keterlaluan. Seharusnya kukunci rapat mulutku. Dengan begitu tidak satu pun di antara mereka, Riu dan Putih, perlu mendengar ocehanku.

Masalahnya ada sesuatu dalam diriku yang seperti ulat busuk. Ulat itu perlahan menggerogotiku dari dalam, sedikit demi sedikit, memangsa seluruh hal indah milikku. Si ulat ini tidak bersedia menelan kenangan menyedihkan yang bersemayam dalam otakku. Hanya hal-hal indah saja yang ia senangi. Dia biarkan kenangan buruk tumbuh subur, menjalar ke seluruh aspek diriku, dan membuatku kesulitan bernapas.

Kadang aku berpikir bahwa hidup sebaiknya berjalan seperti kehendak orangtuaku maupun orang-orang yang ada di sekitarku. Dengan begitu aku tidak perlu menghadapi konflik.

Akan tetapi, kehidupan bukanlah sebuah permainan. Menang dan kalah. Tidak sesederhana dua pilihan itu. Aku memaksa diriku menjalani hidup, sekalipun dengan langkah terseret, dan menyelesaikannya hingga akhir.

Apa pilihan yang kuambil sudah benar?

“Kita sudah sampai.”

Suara Riu mengaburkan lamunanku. Pemandangan jalanan telah berlalu dan kini mobil melaju ke area gedung bertingkat. Kami tidak bisa langsung melesat ke dalam, harus melewati pos keamanan. Begitu Riu menurunkan kaca jendela, memperlihatkan wajahnya kepada petugas, mobil pun dipersilakan masuk.

Riu memarkir mobil, mengintruksikan diriku agar segera keluar.

Begitu aku menjejakkan kaki di luar, suasana asing langsung menyelimutiku. Udara terasa dingin menusuk kulit. Pakaian yang kukenakan tidak ampuh melindungiku dari serangan dingin. Kupikir aku akan menggigil, tapi setelah beberapa saat tubuhku mampu beradaptasi.

[Latihan dan kamu akan terbiasa dengan hawa dingin.]

Bukankah aku sudah latihan membanting tulangku sampai rasanya semua persendian akan copot, huh?!

[Kamu belum pernah latihan berat. Selama ini yang kamu lewati baru dasarnya saja.]

Bagus! Pembelaan! Selalu pembelaan yang keluar dari mulut Putih. Tahu begini aku akan langganan di gym dan melatih ototku! Sialan!

“Ayo.”

Aku mengekor di belakang Riu. Saat kami berjalan seperti ini, bisa kuperhatikan bahwa dia memang tinggi menjulang. Apa dia termasuk salah satu cowok pemuja Jane? Kalau iya, maka aku akan pergi saja. Nanti sih, setelah tanggung jawabku selesai dan aku bisa mencoba pulau tropis.

Kami masuk ke dalam bangunan. Melewati koridor yang di samping kanan dan kiri hanya dinding mengilap, yang bahkan bisa memantulkan tampilan kami. Beberapa kali kami bertemu orang-orang berpakaian serbahitam. Mereka memberi salam kepada Riu, tampak hormat.

“Kamarmu ada di ruang terbaik,” kata Riu ketika kami masuk ke lift.

Kebetulan tidak ada siapa pun di sana. Hanya kami berdua.

Ketika nomor lantai yang dituju Riu, nomor dengan angka besar, lift pun berhenti. Kami bergegas keluar dari sana hanya untuk disambut seorang cowok yang berteriak, “Kenapa lama sekali?”

Cowok itu berkacamata. Rambutnya dipotong rapi. Setiap kali dia bicara, akan terlihat letupan emosi yang bisa kurasakan hanya melalui caranya memarahi Riu. Lalu, ketika seluruh kekesalan dalam dirinya telah tertumpahkan. Ia pun mengamatiku. “Bawaanmu sedikit sekali?”

“Sisanya menyusul,” Riu menjawab, menggantikanku. “Bagaimana dengan kamar yang kuinginkan?”

“Sesuai keinginanmu. Kamar cewek. Aku nggak yakin dia butuh boneka, kuteks, maskara, dan apa kamu alergi sesuatu?”

“Aku punya alergi terhadap banyak hal,” jawabku, sambil lalu. 

“Contohnya?”

Demi memuaskan teman baruku, maka aku pun tidak keberatan memberi penjelasan secara menyeluruh. “Nggak suka dilarang makan keripik. Aku benci masalah yang disodorkan orang lain ke mejaku. Oh ya, aku bersedia menolong. Nggak masalah. Tapi, nggak ada jaminan aku bisa bertempur di sisi kalian sebagai pahlawan. Kemampuanku dalam bertahan hidup cukup mengagumkan.”

“Wow sepertinya aku bertemu dengan seseorang yang ahli dalam bidangnya.”

“Tentu saja,” aku mengakui.

Memangnya mereka tahu apa mengenai hidup di bawah naungan kemiskinan? Hah!

***
Selesai ditulis pada 11 Januari 2024.

***
Maaf baru bisa update. Hihihi.

Sekali lagi saya peringatkan. Hmmm naskah yang ini akan sedikit sama muramnya seperti Goodbye, Juliet. Jadi, saya nggak bisa menjanjikan tulisan ini sebagai bagian dari terapi refresing. (0_0)

Hehehe terima kasih telah mampir menengok Putih.

Salam cinta dan kasih sayang.

LOVE.

ALL OF THEM WANT TO KILL HER (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang