Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, pagi hari ini diawali dengan tidak menyenangkan. Beberapa kali aku harus keluar masuk kamar mandi karena rasa mual yang tidak bisa ditahan. Perutku menegang dan terus memaksaku memuntahkan apa pun yang susah payah aku telan.
Lain dengan kehamilan pertama yang semuanya berjalan lancar, pada kehamilan kedua ini rasanya sangat merepotkan. Entah karena umurku sudah semakin tua, atau karena adanya suami sehingga membuatku menjadi kolokan.
Aku keluar kamar mandi dengan sempoyongan setelah muntah untuk yang kesekiankalinya. Tubuhku benar-benar lemah seakan-akan semua tenagaku sudah terkuras habis. Ketika aku tengah berusaha mengumpulkan tenaga sambil berpegangan di ambang pintu kamar mandi, Atharva masuk ke dalam kamar dengan membawa segelas jus jeruk segar.
“Muntah lagi?” tanyanya sambil menyimpan gelas di nakas dan bergegas menghampiriku. "Kenapa nggak panggil aku?"
"Kamu lagi makan. Aku nggak mau ganggu kamu."
Atharva memapahku berjalan ke ranjang dan membantuku berbaring. "Feeling better?" tanyanya, membelai kepalaku dengan lembut.
"I think I'm getting worse. Kepalaku rasanya mau pecah, Thar."
"Mau minum jus jeruk?"
"Kamu yang bikin?"
Atharva mengangguk. Dia meraih kembali gelas yang disimpan di nakas dan menyerahkannya kepadaku. Ternyata minuman itu cukup membantu. Aku bisa merasakan rasa mual serta pening di kepala berangsur-angsur mereda.
"Sorry if I'm bothering you," ucapku setelah kembali berbaring.
Mendengar perkataanku, Atharva kontan berdecak. "How do you keep waking up and saying that?" sahutnya. "Memangnya kamu pikir aku akan diam aja lihat istriku sakit seperti ini karena hamil anakku? Dulu aku pernah melakukan kesalahan karena nggak pernah memperdulikan istriku yang sakit, dan untuk kali ini aku nggak akan mengulangi kesalahan yang sama, Dier. Apalagi istriku sekarang itu kamu, orang yang mati-matian aku cintai dan aku kejar."
Berkali-kali Atharva mengutarakan hal yang sama. Namun, tetap saja hal itu tidak bisa menghilangkan rasa bersalah yang aku rasakan. Dalam keadaan sulit seperti ini, aku tidak bisa membantu apa-apa. Yang ada aku justru semakin menyulitkan.
Dering ponsel Atharva menginterupsi percakapan kami. Dia meraih benda itu yang tersimpan di meja kerja. "Video call dari pengasuhnya Shaka. Pasti Shaka nyariin aku karena belum datang ke rumah sakit," ucap Atharva sebelum menjawab panggilan itu.
Selang beberapa detik kemudian, terdengar suara seruan Shaka dari seberang telepon. "Papa di mana? Kok nggak dateng-dateng, sih?"
Atharva tertawa lembut sambil berjalan menghampiriku dan duduk di sisi ranjang sebelahku.
"Papa masih di rumah, Sayang. Tadi ngurusin Mama dulu."
"Emangnya Mama kenapa?"
Atharva memperlihatkan layar ponsel yang menampilkan wajah Shaka. Dia terlihat sangat pucat dan lebih kurus dari sebelumnya. Hormon kehamilan membuatku sangat sensitif, sehingga aku tidak bisa menahan kesedihan ketika bertatapan dengan anakku.
"Hai, Sayang," sahutku sambil berusaha menahan tangis.
"Mama sakit apa?"
"Mama nggak sakit apa-apa, kok," jawabku.
"Kenapa mukanya kayak orang sakit?"
Aku berpikir sejenak untuk menyampaikan kondisi kehamilanku dengan cara yang mudah dimengerti oleh Shaka. "Shaka tau hewan kanguru?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?
RomanceTerima kasih telah mengajarkan aku bahwa semua yang kita miliki di dunia ini adalah fana. Dan fana itu hanya sementara.