43 - Akhirnya Damai

65 2 0
                                    

اَللّـٰـهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَـيَّدِنَا مُحَمَّدٍ♡

Selamat hari Rabu untuk kalian yang selalu merindu tapi tak bisa bertemu.

Eh, eh, tunggu? Itu mah akuu dong hahahaha😅

Jangan lupa vote dan komentarnya ya guys! Gak akan bikin kalian rugi kok. Justru itu yang bikin aku semangat buat update demi kalian jugaa.

Oke, vote nya woyy jangan lupa😭

Happy reading!

***

"Apa sebaiknya kamu minta maaf aja sama Harun? Kayaknya dia juga udah mulai baik sama kamu,"

Aku termenung saat mendengar ucapan Tiwi. Sebenarnya aku sudah memikirkan hal ini baik-baik. Aku memutuskan untuk meminta maaf saja pada Harun. Aku pikir, aku juga salah karena terlalu keras padanya. Tapi ...

"Dia baik kalau di luar kelas aja. Wi. Bisa aja kan di kelas dia mengulangi hal yang sama lagi,"

"Aku paham, Ja. Aku ngerti apa yang kamu rasain. Aku juga kadang-kadang kesel kalau ada siswa yang, malah berisik dan membantah. Tapi di situ, kesabaran kita sedag diuji. Kamu boleh kesel sama Harun atau siswa lainnya. Tapi coba kamu inget dulu pas kamu masih sekolah, pernah gak guru sampai gak mau ngajar lagi cuma karena muridnya pada nantang?"

Aku menggeleng pelan. "Paling mentok guru itu gak masuk satu kali dan pas masuk langsung minta maaf. Habis itu siswanya juga ikut minta maaf."

"Nah, kamu juga coba ngobrol baik-baik sama Harun. Kamu minta maaf juga sama anak kelasnya karena kejadian kemarin. Aku yakin, mereka juga bakalan minta maaf. Mereka juga pasti udah dikasih nasihat sama wali kelasnya. Aku yakin itu," jelas Tiwi.

Aku terdiam sejenak. Ucapan Tiwi ada benarnya juga. Aku tak mungkin menyimpan dendam terlalu lama. Aku juga harus sabar menghadapi berbagai karakter siswa yang berbeda.

"Oke deh, besok aku coba ngomong sama Harun. Kebetulan aku ada jadwal di kelasnya. Semoga aja Harun gak buat masalah lagi," pungkasku.

"Nah, gitu dong. Senja kan orangnya sabar, pemaaf, jangan marah-marah terus loh,"

"Iya, iya. Makasih udah dengerin cerita aku. Aku tutup teleponnya yaa. Assalamu'akaikum." Aku mengakhiri perbincangan dengan Tiwi di telepon malam itu.

Aku harus menyiapkan mental untuk besok. Aku akan mencoba membicarakan dan meluruskan masalah ini dengam kepala dingin. Semoga Harun bisa diajak kerjasama.

***

"Huda gak masuk lagi kah?" tanya Nadia yang sudah bersiap untuk masuk kelas.

Aku dan Indah menggeleng.

"Si Farhan juga diem sendirian di ruang BK," ucapku.

"Huda nitipin kelas ke aku, tapi kan aku masuk. Kamu aja yang masuk, Ja!" suruh Nadia.

"Aku lagi?"

Nadia mengangguk.

"Aku kan gak begitu paham sejarah, apalagi sejarah islam. Waktu itu juga cuma ngobrol-ngobrol doang,"

"Gapapa, Ja. Daripada kelas dibiarkan kosong, nanti kita juga yang kena imbasnya. Soalnya ini tanggung jawab mahasiswa yang magang," sahut Indah.

Aku menghela napas berat. "Ya udah deh, aku yang masuk. Bukunya juga masih di aku kok."

Senja BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang