DREN terombang-ambing oleh gelombang massa berkulit hitam dan berambut merah seperti dirinya. Berada di lautan makhluk Vigard tidak pernah membuatnya terbiasa meski sudah ia alami bertahun-tahun. Bernapas lega saja butuh upaya lebih. Biasanya, Dren akan menebas kerumunan yang mendekat padanya hingga tewas, atau menaiki kapal yang hendak menuju medan perang—entah Sanivia, atau planet lain—agar ia bisa enyah dari neraka ini meski hanya sebentar.
Namun kali ini, pedang kesayangan Dren tidak berada di tangannya, dan kali ini ia punya tempat untuk dituju.
Berdiri diam saja sudah sulit, dan kini malah harus bergerak cepat.
Maka, sang pejuang Vigard pun mendorong kerumunan sana sini dan maju sebanyak yang ia bisa. Sudah beberapa jam berlalu, namun Dren masih tiga kilometer dari pintu keluar dapur Lyot. Dan kini, ia mulai kehabisan tenaga.
Gawat. Kalau begini terus, aku tidak akan bisa sampai di sana.
Kerumunan itu benar-benar kacau. Tidak hanya saling dorong, banyak dari mereka juga saling menghardik bahkan menyerang satu sama lain. Perkelahian ada di mana-mana. Mereka mencakar, menggigit, mencabik, bahkan sampai benar-benar saling memangsa seperti binatang buas.
Dengan bergerak seraya mendorong begitu, tentu saja Dren tidak luput dari sasaran mereka. Berkelahi dengan orang-orang ini akan menguras energinya lebih banyak. Dren pun berusaha untuk tetap melangkah secepat yang ia bisa agar terhindar dari pertikaian-pertikaian yang tidak perlu.
Hingga akhirnya, Dren menemukan satu pergulatan yang menarik perhatiannya.
Sesosok pria kekar bersenjatakan dua sabit kecil berjibaku melawan sejumlah orang Vigard lain yang mengeroyoknya dengan liar. Rambutnya semerah Dren, tapi jauh lebih panjang sehingga harus diikat. Otot-ototnya besar, namun itu tidak menghalangi pria itu untuk bergerak dengan gesit dan cepat. Ia mengelak-elak untuk menghindari serangan-serangan dengan tangkasnya. Bukan sembarang mengelak, pria itu mengelak dengan teknik bela diri Vigard yang juga Dren kuasai.
Di momentum yang tepat, petarung Vigard itu memainkan sabit-sabitnya dan menebas kepala lawan-lawannya dengan kekuatan dan kecepatan yang mengagumkan. Tidak berhenti di lawan-lawan yang sudah ditumbangkan, ia bergerak pula ke orang-orang di sekitar dan menamatkan riwayat mereka satu persatu.
Mengagumkan. Tidak ada gerakan yang sia-sia.
Seketika, tempat itu jadi pesta darah, dan pria itu terus berdansa dengan sabit mematikannya. Teriakan-teriakan kematian semakin banyak dan membuat suasana tambah mencekam. Namun itu tidak menghentikan keluwesan kedua tangannya. Ia tidak berhenti bergerak.
Pembantaian itu semakin dekat ke Dren. Dren terus memperhatikan pria itu menebas kiri dan kanan. Hingga akhirnya, ketika sabit itu hendak mendarat di leher Dren, ia menangkap tangan besar pria itu.
"Mengagumkan," puji Dren.
Pria itu terperanjat. "Kau... bisa bicara?"
Ketika hendak menjawab, kerumunan sudah menyeruak lagi hingga membuat Dren harus menembaki mereka semua hingga tewas menggunakan energi dari tangannya.
"Bela dirimu luar bisa," puji Dren lagi. "Aku Dren, dari Desa Tebing Utara."
Pria itu mengangguk. "Senang akhirnya bertemu orang yang bisa berinteraksi dengan baik. Namaku Gon. Dari Desa Lembah."
"Desa Lembah?" Dren berdecak. "Jauh sekali perjalananmu hingga bisa sampai kemari."
"Memangnya aku bisa apa lagi? Desaku hancur, orang-orang yang kukenal juga sudah tidak ada."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Universe
Fiksi IlmiahBabak ke dua Xade dalam melatih dan membawa Lubang Hitam ke Sanivia. Usai mendapatkan kekuatannya kembali, Vahn sang Lubang Hitam justru mengalami kesulitan baru lantaran perubahan fisiknya yang menimbulkan tanda tanya semua orang. Masalah Xade pun...