Menentukan Pilihan

16 6 0
                                    

Langit baru saja tiba di SMA Sastajaya, dia memarkirkan motor khusus untuk dirinya, tidak ada yang boleh menepati kawasannya. Kalau saja ada siswa lain yang dengan sengaja atau pun tidak sengaja memarkirkan motor dikawasannya, pelaku harus menuruti permintaan Langit.

Perintah larangan untuk menempati kawasan Langit sudah menyebar dari mulut ke mulut, jadi semakin hari semakin berkurang yang melanggar.

Langit bukan tipe cowok cool yang badboy dan cuek, dia cool tapi friendly, Langit tidak membatasi dirinya untuk berteman dengan siapa pun, bagi Langit bentuk sosialisasi yang baik adalah berteman dengan siapa pun tanpa memandang latar belakang, suku, agama mau pun ras.

Kalau masalah tawuran, itu beda lagi ceritanya. Langit emang suka ikut turun ke jalan bila Sastajaya diserang oleh musuh, bagi Langit itu adalah hal yang wajib untuk melindungi nama sekolahnya. Sejauh ini, dia baru sekali dapat peringatan dari guru untuk tidak lagi ikut tawuran, untung saja peringatan itu tidak membahayakan hidupnya, bila saja peringatan itu pakai surat dan harus disampaikan kepada wali murid, bisa bahaya uang jajan Langit.

Langit sadar akan batasan untuk dirinya, namun yang jadi masalah hari ini adalah dia sulit mengerti perihal perempuan. Bagi Langit, hal yang paling sulit dimengerti adalah perempuan. Mengapa ya perempuan itu sulit untuk dimengerti?

Rinjani seakan enggan untuk menyapa Langit. Jangankan menyapa, Rinjani seolah melupakan kehadiran dirinya. Langit belum terbiasa dengan sikap Rinjani yang tiba-tiba mendiamkan dan menghindar.

Langit ingin Rinjani yang dulu. Yang penuh senyum dan ceria bukan wajah jutek tanpa senyum. Rinjani jelek tanpa senyum, Rinjani seram tanpa tawa. Sebelum dia membuat Rinjani kembali, Langit berpikir keras dimana letak masalahnya dan itu sangat sulit.

Pelajaran tanpa menganggu Rinjani sangat amat membosankan. Biasanya Rinjani dengan baik hati memberi jawaban, namun hari ini sungguh berbeda.

Pesan yang dia tunggu dari semalam juga tidak kunjung dijawab oleh Senja. Ada apa dengan Senja. Apa perempuan itu juga marah padanya? Egoiskah jika Langit mengatakan kalau dia sungguh merindukan dua perempuan dalam waktu yang sama. Atau, jika diganti, bolehkah Langit merindukan dua perempuan dalam waktu yang sama?

Pemandangan Jakarta dari atas gedung menemaninya. Asap rokok yang terus mengepul keluar dari bibir Langit membuatnya semakin gelisah. Tiba-tiba sesosok pria duduk disebelahnya, meletakan sebotol minuman kopi yang sedang digemari oleh anak muda. Sakti membuka tutup botol dan menenguknya dengan nikmat seperti tidak pernah merasakan kopi instan.

"Lo pasti lagi mikirin delapan belas plus," tuduh Sakti. Dia tau otak laki-laki jika sedang melamun. Pasti tidak jauh dari hal jorok.

"Thanks," ucap Langit membuka minumannya. Dia lebih memilih menghindar dan tidak membenarkan tuduhan Sakti yang salah.

"Lo lagi ada masalah?"

"Gue bingung, Sak."

"Bingung? Bingung apaan."

"Sebenarnya, kalau perempuan marah itu biasanya karena apa?"

"Banyak."

"Contohnya?"

Sakti mengernyitkan alisnya. Apa teman satunya ini benar-benar tidak paham sama hal yang sedang dialaminya, sampai minta contoh segala, dia pikir ini soal pelajaran ya. Sakti mencoba mencari tau dan berpikir sendiri perempuan siapa yang Langit maksud, tiba-tiba dua nama telintas dikepalanya. Rinjani dan Senja. Tidak salah lagi, pasti yang Langit maksud salah satu diantaranya, atau mungkin saja keduanya.

"Makanya, cewek itu jangan digantung. Kasih dia kepastian, Langit," ucap Sakti. "Kalau lo gini terus, yang ada lo cuma bikin mereka berdua terluka."

"Tapi kalau gue milih salah satu diantara mereka, pasti ada yang terluka juga," ucap Langit frustasi.

"Nah. Itu masalah lo sekarang."

Bayangan Langit kembali terbawa oleh Rinjani, bagaimana Rinjani menolong dirinya saat hendak di-skor bersama Bara karena pekelahian. Rinjani beralasan kalau itu semua kesalahan Rinjani, entah bagaimana guru percaya lalu Langit dan Bara tidak jadi di-skor hanya diberi hukuman. Serta air mineral saat Langit selesai menjalankan hukuman dari Pak Ibrahim.

Saat Langit mengerjakan soal matematika di depan, dan Langit kebingungan karena tidak mengerti. Rinjani-lah yang membantu menjawab dan membebaskan Langit dari rasa ketakutan.

Ditengah jalan Sastajaya berperang melawan Diantara dan wajah Langit habis babak belur karena dipukuli, Rinjani membersihkan lukanya dengan sabar dan penuh kehangatan. Melihat wajah khawatir Rinjani dari dekat, begitu lucu sampai Langit ingin selalu melindungi Rinjani sebagaimana dia selalu menyelamatkan hidupnya.

Langit tidak sadar selama ini perlakuan yang diberikan Rinjani terhadap dirinya bukanlah perlakuan biasa. Rinjani melakukannya dengan sepenuh hati dan entah sejak kapan menaruh hati pada Langit.

Senja kini mendominasi isi kepalanya. Menemani Senja disetiap malam ketika sedang belajar adalah hal yang Langit nanti. Melihat wajah serius Senja dari layar ponsel selalu menyenangkan. Malam Langit lebih terasa hidup.

Mendengar cerita Senja perihal apapun, tapi jika diminta cerita mana yang Langit ingat sampai sekarang, tidak ada yang Langit ingat sebab yang Langit bisa ingat hanya wajah Senja saja.

Namun, dari rasa senang itu semua, Langit merasa ada benteng yang begitu tinggi melindungi Senja dari berbagai ancaman luar.

Walau Langit berada dekat dengan Senja, benteng itu masih menghalanginya.

Langit tidak bisa berbuat apa-apa jika Senja sudah bersama Biru. Langit takut, sangat takut sampai dia hanya bisa memendam perasaannya sendiri. Langit takut jika dia menyatakan perasaanya pada Senja, Senja akan menjauhi dirinya.

Berdiri diantara tebing lebih menyakitkan daripada mati secara langsung. Bila selamat kita akan mengigil karena rasa takut dan meninggalkan trauma yang mendalam. Bila mati kita akan menyesali hal yang belum sempat dilakukan atau dikatakan kepada seseorang tentang hal yang sebenarnya kita rasakan.

"Jangan buru-buru ambil keputusannya, dipikir baik-baik. Tapi yang paling penting, ikutin kata hati lo," ucap Sakti. Langit menatap Sakti, ternyata Sakti bisa sedewasa ini.

"Kalau ternyata gue salah ambil keputusan?"

"Wajar kalau manusia mengambil keputusan yang salah. Yang gak wajar itu, ketika lo lari dari masalah."

"Terus, gimana caranya ikutin kata hati, kalau gue aja masih bingung sama diri gue sendiri?"

Sakti menghela nafas lelah. Ditatapnya Langit baik-baik.

"Jangan pernah buat keputusan."

LANGIT | Complete √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang