Bab 9; "Binatang kayak lo memang harusnya dibikin jadi sate."

16 4 0
                                    

Berbulan-bulan sudah Hanna menetap di rumah Kendra, dari pagi hingga petang. Dia hanya kembali ke rumahnya selepas pukul sebelas malam, dan kembali meninggalkan rumah pukul delapan pagi. Sebenarnya, Hanna tak ingin pulang ke rumahnya sendiri, yang sangat jauh dari kata nyaman itu. Namun, dia juga tak ingin membiarkan Mama dan suami barunya bersenang-senang di dalam rumah peninggalan Papa. Terlebih, rumah itu diwariskan atas namanya.

“Kenapa enggak lo jual aja rumahnya? Terus, lo tinggal di sini sama gue,” usul Kendra suatu hari.

Ide yang bagus, menurut Hanna. Namun, dia tetap mempertahankan rumah itu, karena itulah satu-satunya pengingat akan Papa. Kenangan tentang Papa sedikit demi sedikit memudar dengan hadirnya laki-laki gendut di rumahnya, jadi Hanna ingin tetap menyimpan apa pun yang tersisa dari mendiang Papa.

Berbeda dengan sebelumnya, hari ini Hanna tetap tinggal di rumahnya dari pagi hingga jam menunjukkan pukul delapan malam saat ini. Mama dan suaminya sedang pergi entah ke mana, Hanna sungguh tak peduli dengan urusan mereka. Jadi, sepanjang hari dia menjadi penguasa di rumah. Sungguh hari yang benar-benar langka.

“Kenapa enggak ajak gue ke rumah lo?” tanya Kendra, via telepon. Malam itu, Hanna sedang duduk di halaman belakang sambil meminum susu kaleng. Tangan kanannya tampak sedang memegang ponsel yang menempel di telinga.

“Lo enggak bosan tiap hari ketemu gue?” Sang Gadis balik bertanya, alih-alih menjawab kalimat kawannya.

“Enggak,” jawab Kendra, pasti. “Gue kesepian kalau enggak ada lo.”

Jawaban yang cukup untuk membuat Hanna tertawa. “Eh, lo enggak lupa minum obat, ‘kan?”

“Enggak, Bu Dokter. Takut banget gue kumat, ya?”

“Iya, lah! Gue takut kalau lo kumat. Bisa bikin Jack the Ripper minder.” Hanna meneguk susu kalengnya sebelum melanjutkan, “Apa lagi, lo di rumah sendirian. Mau silet-silet diri sendiri lagi?”

Kini, giliran Kendra yang tertawa. Diperhatikan begitu tak pelak membuat dirinya senang. “Eh, omong-omong, dompet lo ketinggalan di sini.”

“Iya. Gue lupa,” kata Hanna. “Biar di situ dulu. Besok juga gue main ke rumah lo lagi.”

“Ada KTP-nya, ‘kan? Bisa gue pakai buat daftar pinjol,” goda Kendra, membuat Hanna tertawa kecil.

“Pakai aja. Kalau ditagih sama debt collector, gue tinggal curi duit di kamar lo. Lo sering taruh duit sembarangan, jadi gue gampang aja ambilnya.”

Obrolan itu sedikit terinterupsi, ketika tiba-tiba Hanna mendengar seseorang sedang membuka kunci dari depan. Gadis itu menolehkan kepala, walaupun ruang depan tak terlihat dari halaman belakang. Lalu, tidak lama, terdengar suara pintu terbuka. Sudah bisa dipastikan ada seseorang yang baru saja masuk ke dalam rumahnya.

“Sialan! Masa udah pulang, sih!” gerutu Hanna, kesal.

“Ada apa?” tanya Kendra dari seberang telepon.

“Mama gue pulang. Gue kira mereka perginya sampai besok.”

“Untung gue enggak di sana, ya. Kalau mereka lihat gue di sana jam segini, dalam keadaan lo sendirian, pasti mereka pikir gue penjahat.”

“Ya memang tampang lo mirip penjahat, sih,” gurau Hanna. “Eh, udah dulu, ya. Gue masuk kamar sebentar. Nanti gue telepon lagi.”

“Memangnya kenapa kalau jalan ke kamar sambil telepon?”

“Enggak apa-apa. Cuma nanti pasti ada aja yang ditanya sama dia. Gue tutup dulu, ya.”

“Iya.”

Hanna memutuskan sambungan teleponnya, lalu berdiri dan masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Dilihatnya, pintu depan telah terkunci, dengan kunci yang tetap menempel pada lubangnya, tetapi tak ada siapa pun di ruang tamu. Mungkin mereka sudah masuk ke dalam kamar, batinnya.

Let's Not Falling Love (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang