"Astaghfirullah gara-gara Mas Rey nih!"
Aku mengurut dada sambil memegang sapu lidi di tangan. Menghela napas melihat tumpukan sampah dedaunan kering yang belum sama sekali menyingkir dari pandangan. Padahal tujuanku adalah menyapu halaman, tapi aku malah terus kepikiran kata-kata Reyhan.
Mau punya anak berapa Sayang?
Bahkan Reyhan belum juga menyerah bertanya tentang itu. Jelas-jelas aku sudah menjawabnya tidak tahu. Sebenarnya dia kenapa begitu. Apa jangan-jangan itu hanya kode untukku. Sama seperti Ayah yang ingin buru-buru punya cucu.
Kenapa tidak tahu? Kan hanya menjawab sesuai perkiraan saja, Sayang. Bilang, satu atau dua?
Aku masih ingat ketika Reyhan menyengir kuda saat mengatakannya.
"Ya Allah. Gue belum siap lahir dan batin untuk punya anak." Akhirnya aku malah duduk di kursi kayu yang ada di depan rumah, ketimbang melanjutkan kegiatan menyapu halaman.
"Assalamualaikum, Ay."
Aku mengangkat wajahku perlahan, setelah mendengar suara seseorang yang membuat jantungku berdebar kencang. Ini bukan karena aku jatuh cinta dengan suara itu. Justru sebaliknya, bagaimana jika setelah ini aku jadi membenci suara itu. Padahal tadinya biasa-biasa saja.
Albara. Kenapa dia mendatangiku segala, sih.
"Katanya kalau ada yang ucap salam, harus dijawab, kan?"
Lidahku kelu. Aku meremas telapak tangan lalu berdiri dengan segera.
"Waalaikumussalaam." Lalu aku berjalan menuju ke rumah.
"Aysha, tunggu." Albara mengejar, ini gawat.
"Cukup, jangan temuin gue, Bar."
"Rupanya kamu benar-benar berubah, ya, Ay. Jangankan berbicara denganku, menatap wajahku saja kamu tak mau."
Aku menghela napas. Dia mulai berbicara tak jelas. Kesal sih, karena tak dapat dengan leluasa memaki kebodohan otaknya yang mulai tidak waras. Ingin sekali kuteriaki dia sekarang juga dan katakan cepatlah pergi dari sini dan jangan pernah memelas.
"Mending lo pergi, Bara," kataku sambil menahan gemas.
"Kamu bilang kalau aku kembali, mungkin kamu akan pertimbangkan hubungan kita lagi, Ay. Lalu kenapa sekarang kamu mengkhianati itu?"
Mengkhianati? Aku menelan ludah lalu berbalik. Sialan! Dia membuatku ingin berkata kasar.
"Apa lo bilang? Mengkhianati apaan!"
Albara, ini pertama kali aku menatapnya lagi. Wajah itu masih sama, hanya lebih sedikit bercahaya. Apa mungkin dia benar-benar bertaubat dan mulai menjalankan ibadah, pikirku.
"Akhirnya kamu mau menatap wajahku lagi, Ay. Percaya sama aku, di dalam sini masih ada kamu," ucapnya dengan telapak tangan memegang dada sebelah kanan.
Aku berdecih. "Gue udah nikah, Bara. Lupain aja apa pun yang pernah gue katakan ke lo. Bisa, kan?"
Memang tak ada lagi yang tersisa. Jantungku berdegup kencang karena takut ketahuan Reyhan. Bukan karena masih memiliki sedikit perasaan.
"Semudah itu buat kamu melupakan aku. Memangnya sehebat apa laki-laki itu, Ay?"
Aku mengalihkan pandangan sambil memeriksa apakah ada kemungkinan Reyhan muncul tiba-tiba. Ini jam shalat dhuha, Reyhan juga masih mengajar sekarang.
"Kalau gue bilang gak perlu alasan apa-apa, lo bisa pergi, kan." Aku menatap Albara lagi. Sekarang aku bertekad menyelesaikan semua hal yang tersisa.
"Mana mungkin. Aku mengenal kamu, Aysha. Kita pernah sedekat itu, dan kuharap kamu gak lupa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dijodohkan Dengan Santri (Gus Reyhan)
Roman d'amourFOLLOW DULU SEBELUM BACA Rate 18+ Rumaysha terpaksa harus menerima perjodohan dengan seorang pemuda bernama Reyhan. Gus dari pondok pesantren Al-Faaz. Rumaysha awalnya menolak, tapi ayahnya mengancam akan memasukkan dirinya ke pesantren jika menola...