LANGKAH kaki yang berlari meninggalkan ruangan terdengar bergema. Punggung yang perlahan-lahan menjauh kini sudah menghilang dari pandangannya. Anak itu telah benar-benar kabur dan meninggalkan tempat kejam ini. Netranya menatap anak itu yang sudah pergi menghilang, merasa ada yang aneh pada dirinya.
Napasnya sedikit memburu, entah mengapa oksigen di sini terasa sangat berat. Pikirannya sedikit kalut, dan ini semua bukan karena ia akan mempertaruhkan nyawanya untuk bermain bersama takdir. Ia masih memiliki beberapa waktu sebelum gilirannya mulai tampil, Maria menunduk dan menatap tangannya.
Mengapa aku membiarkannya bertahan hidup?
Entah sudah berapa banyak nyawa yang pernah Maria hilangkan dari dunia sejak mengenal Vincent. Entah sudah berapa banyak kebenciannya terhadap kehidupan yang memiliki perbedaan. Itu semua berjalan di otaknya, memaksanya berpikir pada apa yang ia percaya dan apa yang ia pandang. Pandangannya kepada kehidupan sudah mampu membuatnya hidup pada garis takdir semacam ini, maka untuk apa ia bertingkah seolah-olah ia memikirkan nyawa manusia.
Merepotkan sekali, sial.
Maria adalah Maria. Perempuan yang masih berusia kurang lebih enam belas tahun—mungkin hampir tujuh belas—masih bimbang dengan apa yang ia pilih. Maria menggelengkan kepalanya, berharap jika semua itu menghilang dari benaknya. Netranya kembali fokus menatap ke depan, menunggu gilirannya.
Si pembawa acara masuk ke dalam, melihat ke arah Maria dengan tatapan yang aneh. "Eh? Siapa kau?"
"Aku? Aku akan bertarung. Ada apa?"
Pria itu menggelengkan kepalanya. "Bukan. Hanya saja, seharusnya ini giliran anak laki-laki itu—Volkov ..., eh? Ya, kurasa itu namanya." Pria itu melihat ke sekeliling, tetapi ia tidak menemukan apa yang ia cari. Ia mengembuskan napasnya, mengeluarkan sebuah buku kecil. "Baiklah, siapa namamu? Siapa nama orang yang memeliharamu?"
Maria terdiam, ia tidak tahu harus menyebutkan namanya atau tidak. "Tanpa Nama."
Alis pria itu menyatu, menatap aneh ke arah Maria. "Louis memanggilku Tanpa Nama." Pria itu mengembuskan napasnya kembali, mencatat nama panggilan Maria.
"Nama pemilikmu Louis?" tanya pria itu. Maria mengangguk. Buku tersebut dimasukkan ke saku celananya. "Jika kau menang, kembalilah ke sini dan bawa pemilikmu atau uang yang kau dapatkan akan hangus jika dalam satu jam kau tidak datang." Ia berjalan menjauhi Maria, kembali ke area pertandingan dan membuka pertandingan kedua.
"Baiklah, para penonton yang terhormat. Pertandingan kedua! Monster Kecil milik pengunjung setia kita! Yaitu Pria Putih! Dan seorang gadis cantik bernama Gadis Tanpa Nama milik Louis!"
Suara sorakan penonton semakin meriah, tetapi lain halnya dengan Celestial. Mereka terdiam mematung, mencoba mencerna perkataan si pembawa acara. Max menoleh ke arah Louis, dan Liam menatap Louis dengan tatapan terkejut. Louis yang merasa ditatap itu menoleh ke arah Max dan Liam.
Alis Liam menyatu. "Kak, kau melakukan apa?"
"Aku tidak melakukan apa-apa sungguh. Liam, jangan marah." Louis memegang pundak Liam. Walau badannya besar dan wajahnya menyeramkan, Louis takut dengan adiknya.
"Mu-mungkin saja orang lain, bukan? Lihat dahulu pertandingannya ...." Bola mata mereka membulat sempurna saat pertandingan sudah mau dimulai. Maria berdiri dengan percaya diri di area pertandingan dengan gaunnya yang masih digunakan untuk bertarung di situ. Memakai gaun itu dengan percaya diri, seolah-olah itu takkan mengganggunya dalam melawan lawannya yang berbadan sangat besar.
Maria menoleh ke atas, menatap Celestial. Ia tersenyum lebar sambil mengedipkan mata kirinya dan memberikan ibu jari kepada Celestial. Mengisyaratkan kepada mereka untuk tidak perlu khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐂𝐡𝐫𝐨𝐧𝐢𝐜𝐥𝐞 𝐨𝐟 𝐍𝐚𝐦𝐞𝐥𝐞𝐬𝐬 𝐆𝐢𝐫𝐥 (END)
Tiểu thuyết Lịch sử{Prequel The Chronicles About Us} Terbaring lemah, tak menjadi milik siapa pun. Kota bagaikan neraka bersama manusia dengan kasta tinggi bagaikan pendosa besar. Kemiskinan dan ketidakadilan sosial membuatnya menjadi korban dari semua nasib buruk yan...