Bab 11; "Gue bikin lo bahagia di sini."

17 4 0
                                    

Bandara Ngurah Rai, Bali

Mereka mendarat sekitar pukul delapan pagi di bandara Ngurah Rai. Setelah semalam berburu tiket pesawat dadakan, akhirnya mereka tiba di sini, di tempat pelarian yang cukup jauh dari rumah.

Sepanjang perjalanan menuju bandara semalam, mereka tak henti berdebat. Pasalnya, mereka pergi tanpa persiapan. Hanna tak membawa satu barang pun selain tubuhnya dan celana pendek, serta jaket yang menempel di badannya. Tak ada ponsel, baju ganti, dan sebagainya. Hanya dompet yang disempatkan diambil oleh Kendra di rumahnya. Pemuda itu juga menyambar charger, juga dompet miliknya sendiri; berisi sejumlah uang dan kartu kredit yang isinya tak perlu diragukan.

Perdebatan yang berlangsung alot itu menghasilkan keputusan atas dasar ucapan, “Lo pergi sama gue, jadi enggak perlu khawatir. Gue bahkan bisa beli lima apartemen di kota orang.”

Hanna tak meragukannya. Kendra anak orang kaya. Benar-benar kaya, dan posisinya menjadi anak tunggal sekarang benar-benar menguntungkan. Jika meminta sesuatu, tinggal mengirim pesan pada salah satu karyawan papanya, dan segala keinginannya akan didapatkan dalam waktu kurang dari tiga jam. Hidupnya memang semudah itu, dari luar.

Akhirnya, karena merasa kalah dan benar-benar lelah, Hanna memutuskan mengiakan keputusan kawannya.

“Mau cari hotel dulu, atau sarapan dulu?” tanya Kendra, saat mereka telah ada di pintu keluar bandara. Sedikit aneh, mengingat hanya mereka berdua yang meninggalkan rumah penerbangan itu tanpa menyeret koper, atau menggendong ransel, atau sejenisnya.

“Beli baju ganti. Gue cuma pakai jaket lo tanpa kaos apa pun karena si Gendut itu,” jawab Hanna.

“Memangnya ada mall yang buka jam segini? Cari hotel dulu aja, ya.”

“Terserah, deh. Suka-suka lo. Gue masih kesulitan mikir.”

Kendra tersenyum kecil, gemas sendiri melihat gadis di sampingnya dengan wajah tertekuk, tampak mengantuk dan kelelahan. “Lo betulan kayak adik gue, Han.”

“Berisik, lo! Gue masih marah.”

Kini, si Laki-laki tertawa, lalu menggandeng tangan Hanna dengan ringan. Hanna merasa sedikit aneh dengan sentuhan itu. Bukan berarti Kendra tak pernah melakukannya. Pemuda itu bahkan sering menyentuh tangannya sebelum hari ini. Hanya saja, segalanya hanya sentuhan, yang kebanyakan terjadi bukan dengan unsur sengaja. Ini lebih dari itu. Dan rasanya sudah sangat lama dia merasakan bergandengan tangan dengan seseorang di tempat umum.

Mereka menaiki taksi dan menanyakan letak hotel atau penginapan yang bisa direkomendasikan oleh sang sopir. Akhirnya, taksi itu melaju menuju sebuah hotel yang cukup mahal, bernama Marlîo Hotel. Setelah membayar jasa angkutan, keduanya turun dan segera masuk melewati pintu gedung tinggi yang direkomendasikan.

Kendra hanya memesan satu kamar untuk satu minggu. Dan Hanna benar-benar tak mendebat, tampak sangat tak keberatan mengetahui hal itu. Mungkin karena gadis itu masih dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, masih terserang shock ringan. Harinya, bisa dibilang, tak biasa. Jadi energinya terkuras hanya untuk sekadar menghela napas.

“Kita satu kamar. Enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Kendra, memastikan. Jika Hanna tak setuju, dia akan menyewa satu lagi.

Namun, alih-alih menolak atau mendebat, gadis itu kembali melontarkan kalimat yang hampir sama, “Terserah. Gue tadi bilang, ‘kan? Terserah lo. Please, gue cuma mau istirahat. Jadi, terserah lo.”

Kendra menarik lengan Hanna halus, lalu membuka pintu. Mereka berdua masuk. Kamar itu cukup luas untuk dua orang, dilengkapi satu tempat tidur dengan ukuran yang tak kalah besar dengan yang ada di rumah Kendra, kamar mandi, lemari pakaian, beberapa meja, televisi, AC, dan sofa malas yang cukup besar. Kendra melepaskan lengan Hanna begitu dia telah mengunci pintu dari dalam.

Let's Not Falling Love (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang