kamu duduk bersimpuh dengan pakaian tradisional jepang yang mewah yang membalut tubuh ringkihmu. sungguh tak layak bagi gadis dari seorang petani miskin, terbalut oleh satin mahal yang diyakini sebagai kain tenunan dewa. matamu sayu kebawah, menjadikan papan kayu luas warna cokelat sebagai pemandangan yang lebih indah. enggan melihat ke arah riuh ramai orang-orang yang tengah bersukacita atas pernikahanmu.
tarian, nyanyian, hiburan gelak tawa seakan mengejekmu nasibmu yang malang, mendorong jauh kehadiranmu dari rasa bahagia.
"tersenyumlah, ini adalah hari bahagiamu."
suara ibu terdengar, bibir terpoles delima warna merah tersenyum lebar, seakan ialah yang menikah malam ini. kamu membalasnya dengan senyum yang lebih kecil, terasa pahit jika ditilik lebih jelas. lagi-lagi, kamu harus berkorban. selepas sosok wanita tua itu perlahan berjalan menjauh, kamu meneguk salivamu kasar, siap untuk mencuri-curi pandang pada sosok disampingmu.
netramu melirik ke samping, berusaha maksimal agar kepalamu tetap tegap, tak terlihat seperti gadis genit yang ingin tahu segala hal. sungguh, untuk seperkian sekon, jantungmu terasa ingin berhenti untuk berdenyut. netramu menangkap dua bola merah yang terlihat lebih dari lipstick ibumu, tengah menatap lurus seperti menikmati dengan khidmat. perangainya begitu tenang, hampir membuatmu tak percaya bahwa ia adalah orang yang sama dengan monster brutal di cerita rakyat.
niat hati ingin melirik lebih lama, namun netra tersebut tiba-tiba saja bergerak seperti patung yang mendadak hidup. jantungmu seakan ingin meloncat dari peraduannya, matamu sontak menatap lurus seolah tidak ada hal yang terjadi, pikiranmu berkecamuk dengan rasa gelisah. ia tertangkap basah, rasa malu pun tak cukup untuk menutupi ketakutanmu.
sukuna melihat ke arahmu, dia benar-benar melakukannya.
kamu memang tidak bisa melihatnya lagi, lebih tepatnya enggan. namun manusia adalah makhluk yang sensitif. kulitmu dapat merasakan hawa negatif tatkala kepalanya tertoleh sedikit seperti menikmati tiap potret samping dari dirimu. suara nyanyian, gelak tawa, dan hiburan lain tiba-tiba kabur dari pendengaranmu, tergantikan oleh suara degup jantung, yang menggila sejak tadi.
kacau sekali, rasanya ingin menenggelamkan diri.
kepalamu terpaksa menatap lurus dan tegap, mengubur dalam-dalam rasa cemas, agar tak diketahui oleh sukuna. lagi, pikiranmu melayang pada nasibmu saat ini. kamu sudah menikah, lalu apa? tidak ada uluran tangan, mendengar jerit keputusaan yang kamu bungkam sendiri dalam nurani. kelopak gandamu layu, memikirkan betapa sulitnya hidupmu setelah pesta pernikahan ini berakhir. tanpa sadar, kepalamu menunduk, menyembunyikan ekspresi getir yang kamu tahan mati-matian.
"tegapkan kepalamu, wanita."
untuk sesaat, matamu membulat. oksigen yang kamu hirup mendadak sirna, meninggalkanmu dalam keadaan menahan napas. suaranya rendah, dalam, namun sarat akan perintah. tak butuh pengulangan untuk menuruti perintahnya. kamu menegapkan kepalamu lagi, sedikit bergetar selepas ditegur oleh suamimu.
ah, suami? apakah pantas bagimu untuk menyebutnya begitu?
"jangan membuatku terlihat rendah karena kecerobohanmu, dasar manusia bodoh."
ucapan selanjutnya membuatmu tersentak kecil. ini bukan pertama kalinya kamu dihina seperti itu, bahkan kamu sudah merasakan yang jauh lebih menyakitkan dari dihina. akan tetapi, tetap saja, kamu tidak bisa menghentikan bulir-bulir air yang menggenang di matamu. kimono pernikahan itu seharusnya kamu simpan dengan rapi dan bersih, namun apa daya, kain itu telah basah dengan air mata.
kamu tidak dapat membayangkan kehidupan selanjutnya setelah pernikahan ini usai.
KAMU SEDANG MEMBACA
under red moon.
Fanfictiontrueform!sukuna x fem!reader (Heian era). seharusnya, kamu hanyalah seorang selir yang berkewajiban melayani dan melahirkan. seiring berjalannya waktu, kamu mulai mempertanyakan perihal perilakunya terhadapmu yang sangat berbeda dari apa yang sudah...