25. Membujuk Khalifah

30 5 0
                                    

Di pertemuan penuh suka cita itu, keduanya mengobrol panjang lebar membahas berbagai topik, mulai dari pertama sadar berada di tahun 805 Masehi, hingga beberapa kali menemui orang yang diduga mirip dengan teman-temannya di masa depan termasuk Ayesha. Anzilla juga mengatakan bahwa dia pernah tak sengaja mendengar Mahin mengatakan kalimat: apa kau sudah tidak waras? Kepada Felix saat dirinya berjalan melintasi taman bersama para pelaya. Hal itu yang melatarinya untuk mencari Mahin.

"Ngomong-ngomong, siapa lelaki yang bersamamu itu, Mahin? Kenapa kau mengatakan dia tidak waras? Apa semua orang menjadi korban kalimat andalanmu itu?" Anzilla terkekeh saat menanyakan itu. "Kupikir hanya aku yang kau anggap tidak waras," sambungnya.

"Dia Felix, dan memang sama sepertimu... tidak waras! Dia selalu menjelek-jelekkan Khalifah Harun Ar-Rasyid...."

Ucapan Mahin terhenti ketika dirinya teringat sesuatu.

"Oh, Anzilla... kau benar-benar istri khalifah , kan?" Mahin memastikan sekali lagi, seolah dia masih belum percaya dengan keadaan yang menimpa Anzilla saat ini.

"Yaa... berkali-kali aku bilang iya! Apa kau masih tidak percaya?" Anzilla menjawab kesal karena Mahin sudah lebih dari tiga kali menanyakan itu.

"Aku percaya... tapi aku benar-benar butuh bantuanmu."

"Bantuan apa?"

Mahin langsung menyampaikan kisah Felix yang berkali-kali hendak membunuh khalifah karena ingin membalas dendam atas kematian sang ayah. Gadis itu menanyakan tentang keberadaan seseorang bernama Fransiskus.

"Apakah benar khalifah pernah membunuh orang dari Byzantium bernama Fransiskus? Jika memang iya, kenapa orang itu dibunuh? Karena beliau adalah ayah Felix. Atas alasan itulah Felix berkali-kali ingin membunuh khalifah."

"Mahin, aku tidak tahu banyak tentang urusan kenegaraan, kecuali yang berhubungan dengan harem. Apalagi perihal bunuh membunuh!"

"Karena itu aku ingin kau menanyakan hal itu pada khalifah. Aku mohon padamu, Anzilla... berjanjilah." Mahin menggenggam tangan Anzilla penuh harap.

Lama Anzilla menatap mata Mahin yang menyiratkan harapan amat besar padanya. "Baiklah... tapi tidak mungkin sekarang atau dalam waktu dekat, karena dia sedang ada di istana Raqqah. Nanti aku akan ke sana. Akan kuberi kabar jika sudah mendapat jawaban dari dia."

Obrolan mereka terhenti karena Halimah sudah berkali-kali mengetuk pintu. Katanya ada beberapa petinggi kerajaan yang hendak bertemu dan ada keperluan dengan Ratu Zubaidah.

***

"Yang Mulia, ada surat dari teman Anda, Mahin?" Anzilla mengalihkan perhatiannya pada Halima yang tergopoh-gopoh datang sambil membawa surat.

"Ah, berikan padaku," ujar Anzilla, lalu Halima pun menyerahkannya pada permaisuri.

"Sebenarnya ada apa antra Anda dan pelayan itu, Yang Mulia? Saya lihat belakangan ini kalian sangat akrab. Bahkan sampai saling mengirim surat."

Mendengar pertanyaan itu, Anzilla tersenyum dan menatap Halima. "Dia salah satu temanku yang juga ikut terjebak di dunia ini, Halima," jawab Anzilla jujur, sebab memang dia sudah menceritakan semuanya pada Halima. Meski wanita itu terkesan masih tidak percaya dan meragukan ceritanya.

"Ah, seperti itu rupanya, kalau begitu saya pamit dulu, Yang Mulia, saya harus menyiapkan beberapa barang dan perbekalan untuk perjalanan kembali ke Baghdad," pamit Halima karena Anzilla memang tengah berada di istana Raqqah untuk menemani khalifah.

Setelah kepergian Halima, Anzilla pun membuka surat dari Mahin. Di dalamnya gadis berdarah Indonesia itu menceritakan kesulitannya untuk menemui Fransiskus yang sekarang sudah menjadi penasihat kerajaan dan merubah namanya menjadi Fazl Bermezid, karena Anzilla memang sudah mencari tahu soal ayah Felix pada khalifah langsung dan mendapat jawaban bahwa laki-laki itu masih hidup dan kini berada di Baghdad menjadi orang kepercayaan khalifah. Anzilla sempat tak percaya jika mendengar cerita Mahin kemarin, tentang betapa bencinya Felix dan kerajaannya pada khalifah. Namun, begitu lah adanya. Siapa sangka, bahwa khalifah juga bersedia merangkul musuhnya untuk dijadikan orang kepercayaan.

Selain itu Mahin juga menyampaikan sebuah ide agar Anzilla membuat lomba melukis terbuka untuk seluruh anggota kerajaan, baik pelayan, budak yang diizinkan tuannya, prajurit serta rakyat biasa, asal lolos seleksi... maka boleh ikut.

Dalam suratnya Mahin menuliskan satu permintaan lagi bahwa obyek yang dilukis yaitu khalifah, ratu, penasihat kerajaan dan perdana menteri. Para peserta lomba bebas memilih siapa saja, hanya salah satu atau keempatnya. Bagi yang menang lukisannya akan dibeli raja. Sisanya akan dipamerkan di bazar tahunan untuk dilelang.

"Kalau begini mau tak mau aku harus menemui khalifah lagi dan bicara dengannya. Semoga dia bersedia menyruti permintaanku," gumam Anzilla setelah dia selesai membaca surat Mahin.

Tak butuh waktu lama dia pun menyuruh Halima untuk mencari tahu keberadaan khalifah saat ini. "Yang Mulia, khalifah sekarang sudah kembali ke istananya. Apa Anda ingin ke sana malam ini?"

"Ya, aku akan ke sana, kalian tak usah mengikutiku. Biar aku sendiri saja." Anzilla pun benar-benar pergi setelah mengatakan itu.

Saat hendak menuju ke istana raja, Anzilla dan khalifah tak sengaja berpapasan di taman. Keduanya pun memilih berhenti. "Ratuku, ada apa malam-malam begini kau keluar? Lalu di mana dayang-dayangmu?" tanya khalifah khawatir ketika dia tak mendapati ada pelayan di belakang petmaisuri.

"Ah, aku sengaja meminta mereka untuk tak mengikutiku. Kebetulan kita bertemu di sini."

Mendengar ucapan istrinya, khalifah tersenyum. "Jadi kau sengaja ingin menemui ku sendirian saja? Agar tidak ada yang mengganggu kebersamaan kita, begitu kah maksudmu?" goda khalifah lalu menarik pinggang istrinya tanpa aba-aba.

Tindakan itu membuat Anzilla kaget setengah mati, apa lagi posisi mereka yang sekarang sangat dekat dan menempel. Belum lagi wajahnya dan khalifah yang terpaut beberapa jengkal saja, seolah membuat pipi Anzilla terasa panas. Semua pelayan pun reflek memutar tubuh menjadi memunggungi raja dan ratu sebagai bentuk penghormatan, karena tak ingin mengganggu kemesraan pasangan tersebut.

"Yang Mulia, lepas ... saya malu... Ada banyak orang di sini," ujar Anzilla sambil berusaha mendorong dada bidang khalifah sambil menatap beberapa pelayan di belakang suaminya. Namun, sepertinya sia-sia saja karena laki-laki itu tak bersedia melakukan perintah permaisuri. Malah semakin ingin menggoda istrinya yang malu-malu.

"Jadi maksudmu, kau ingin kita pergi dari sini dan menghabiskan malam berdua?"

Mendengar godaan itu, Anzilla memutar mata bosan, ternyata khalifah sama saja dengan para suami lain yang suka menggoda istrinya. Dulu Anzilla pikir hanya ayahnya saja yang lebai karena selalu merayu ibunya saat di rumah. 'Ternyata seperti ini rasanya jadi kau Mom' batin Anzilla saat ingat orang tuanya di masa depan.

"Ternyata kau memang sangat pandai merayu, Yang Mulia, tapi aku serius saat bilang ingin bicara penting. Jadi berhenti melakukan ini padaku dan mari kita bicara di ruangan Anda," ucap Anzilla sambil menatap khalifah. Posisi keduanya masih sama dengan khalifah yang merengkuh pinggang permaisuri.

"Baiklah, tapi ada syaratnya."

Anzilla menautkan alis, perasaanya tiba-tiba tak enak, seolah dia yakin bahwa khalifah pasti akan mengajukan syarat yang aneh-aneh seperti tempo hari saat dia mengorek informasi soal Fransiskus.

"Apa?" Hanya kalimat singkat itu yang keluar dari bibir Anzilla.

"Tapi berjanjilah kau menyetujuinya dulu." Khalifah memastikan.

Pertanyaannya pun direspon Anzilla dengan anggukan, sebelum kemudian dia menjawab. "Demi Allah, aku akan menuruti apapun syaratnya asala Yang Mulia bersedia menuruti kemauanku untuk kali ini, bagaimana?"

Senyum khalifah merekah, dengan semangat empat lima laki-laki itu mengangguk lalu bicara. "Baiklah, karena kau sudah berjanji atas nama Allah, sekarang ikut aku. Kita bicara di istanaku saja malam ini." Khalifah langsung menarik tangan Anzilla setelah mengatakan itu. Senyum di bibir terus tersungging sepanjang menuju kediamannya.

Di sampingnya, Anzilla juga tak kalah bahagia, dia menatap tangannya dan khalifah yang saling bertautan sepanjang mereka berjalan bersama. 'Mungkin begini rasanya dicintai seorang laki-laki dengan tulus' batin Anzilla.

Anzilla dan Sang KhalifahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang