—
Sejak kecil aku sudah tahu bahwa uang adalah hal paling sensitif sekaligus penting dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Banyak sepasang kekasih yang awalnya saling mencintai, berakhir bertengkar karena masalah keuangan setelah menikah. Termasuk ayah dan ibuku.
Namaku Lita. Aku merupakan anak pertama dari pasangan Muhsin dan Nurlela. Ayahku tidak seberuntung dua kakaknya yang lain—mengeyam Pendidikan tinggi—dan memiliki pekerjaan yang baik. Beliau hanyalah tamatan SMP dan kini bekerja menjadi supir seorang dokter penyakit dalam. Konon katanya, kakek sudah pensiun ketika ayah naik ke bangku menengah pertama sehingga tidak punya biaya lebih untuk menyekolahkannya.
Pekerjaan ayah setiap hari mengantarkan sang dokter dari rumah sakit ke rumah sakit lain, siap siaga kapan pun dibutuhkan. Sementara itu, ibuku juga ikut bekerja untuk menyongkong perekonomian keluarga menjadi penjaga toko pakaian di pasar tradisional tengah kota. Mereka sangat sibuk dan jarang ada waktu di rumah. Jujur saja, aku sering merasa kesepian.
Sebenarnya aku memiliki seorang adik perempuan bernama Sita. Jarak usia kami hanya terpaut dua tahun. Memiliki usia yang tak jauh berbeda membuat kami jadi dekat dan sering menghabiskan waktu bermain bersama.
Kemudian Sita diadopsi oleh Budhe Yanti—kakak kedua ayah—yang tidak memiliki keturunan setelah hampir dua puluh tahun menikah. Aku sangat sedih waktu itu, dan selalu berharap adikku kembali. Namun, aku membuangnya jauh-jauh ketika mengingat kata-kata ibu waktu itu.
"Kamu memang nggak kepengen lihat adikmu punya hidup yang lebih baik? Budhe Yanti itu orang kaya raya. Beliau menjamin semua kebutuhan Sita dan berjanji akan memberikan pendidikan yang terbaik. Anggap saja, Sita sedang berjuang untuk mengangkat drajat keluarga kita. Dan Ibu yakin kalau dia pasti Bahagia di sana."
Sejak saat itulah aku tak lagi berani berandai-andai jika ia kembali.
Suatu hari, suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku yang sedang menatap piring kosong. Sebenarnya itu makanan yang tadi pagi ibu siapkan sebelum berangkat bekerja dan baru sempat aku makan ketika pulang sekolah. Karena ini hari Jum'at, sekolah berakhir lebih cepat.
Buru-buru aku membukakan pintu, lalu mendapati Anna—teman sepermainan di komplek—menangis sembari memeluk boneka barbie yang menghitam dan berbau akibat air selokan. Aku terkejut dibuatnya. Pasti ada seseorang yang jahil dan sengaja menjatuhkan boneka itu. Boneka barbie baru hadiah ulang tahun untuk Anna yang diberikan oleh ayahnya. Bahkan kemarin sore Anna sempat menunjukan padaku.
"Bonekanya kok jadi begitu?" tanyaku polos. Alih-alih menjawab pertanyaan, tangisan Anna malah makin kencang. "Eh, eh, loh, kamu kenapa makin menangis?"
"Ini semua gara-gara Alfian. Kamu tahu kan. Itu loh anak gendut dari komplek sebelah?"
Aku mengangguk. Siapa yang tak mengenal Alfian si anak yang terkenal badung. Selain usil, dia itu bodoh. Ya, aku bukan merasa sok pintar, tetapi apa yang bisa ditolerir dari anak nakal dan bodoh?
"Alfian bilang ini balasan tempo lalu karena kita mengadu pada ibunya kalau dia bolos sekolah dan main game online di warnet."
Anna bicara dengan penuh amarah, lalu kembali hampir menangis ketika melihat kembali penampilan boneka barbienya sudah carut-marut. "Dia berpesan agar kamu lebih hati-hati karena ia akan balas dendam ke kamu!"
Aku tersenyum miring, menganggap remeh ancamannya. "Sampaikan pada Alfian kalau aku nggak takut!"
Tak lama, mobil mercy warna hitam datang dan parkir depan rumah. Mobil itu familiar karena pernah beberapa kali mampir kemari. Anna yang paham jika aku kedatangan tamu pun langsung pamit pulang sembari berkata, "Pokoknya besok hati-hati di sekolah. Alfian pasti punya rencana gila untuk ngerjain kamu." Setelah itu tubuhnya hilang dari pandanganku.
Kudengar suara mesin mobil itu mati, lalu disusul oleh suara pintunya yang terbuka dan menutup. Sita berlari memanggil namaku, kemudian memeluk erat. Aku yang juga sangat merindukannya pun membalas pelukannya tak kalah erat. "Kok baru main ke rumah lagi sih?"
Sita tidak membalas pertanyaanku. Matanya melirik ke arah Budhe Yanti yang berada di sampingnya. Aku yang juga takut setiap melihat Budhe pun mengurungkan niat untuk bertanya lebih banyak.
Harusnya hari itu aku senang karena Sita main ke rumah setelah hampir dua bulan tidak ada kabarnya. Namun setelah mendengar penjelasan Budhe Yanti, hatiku sangat sedih. Lebih sedih ketika mengantarkan Sita pindahan ke rumah Budhe yang hanya dua puluh satu kilo jauhnya.
Pakdhe Agus-suami Budhe Yanti-harus pindah tugas ke Bandung. Kota yang lumayan jauh dari tempat kami tinggal. Mungkin saat itu, sifatku yang masih kekanak-kanakan sehingga langsung pergi dari rumah ketika mendengar maksud dan tujuan Budhe datang kemari.
Sita berusaha mencegahku pergi, tetapi aku tak mempedulikannya. Seberapa besar keinginanku untuk dia tetap tinggal bersama kami, ia pasti tetap akan pergi juga ikut bersama keluarganya yang baru.
Hujan deras datang tak tepat waktu. Aku berlari menuju taman bermain dekat madrasah, lalu mengumpat di terowongan gorong-gorong pipa untuk berteduh. Berharap tak ada yang menemukanku di sini. Tapi sialnya, ketika hujan mulai reda, Alfian malah memergokiku di sini.
"Ngapain malem-malem ngumpet di sini? Lagi mainan petak-umpet sama Genderuwo ya?" ejek Alfian diiringi gelak tawa yang terdengar sangat menyebalkan.
Aku berdecak sebal, tak berniat untuk membalas ejekannya itu. Makin dijawab, ia pasti akan merasa menang. Lalu, aku pun berniat untuk pergi dari sini.
"Berhenti!"
Sontak langkah kakiku pun berhenti, lalu membalikan tubuh ke arah lelaki menyebalkan itu lagi. "Ada apa lagi sih? Aku nggak mau berantem hari ini. Lagi nggak mood. Gatau kalau besok!"
"Ih, siapa juga yang mau ngajak berantem? Biar gini-gini ... aku tuh suportif tahu!"
"Suportif dalam hal apa? Dalam hal isengin teman, lalu balas dendam?" Omong kosong Alfian terdengar menggelikan malam itu. Bisa-bisanya dia menggunakan kata "Suportif" untuk hal berbau negatif.
Alfian berdecak sebal karena aku meremehkan niatnya. Tak mau berdebat panjang, ia pun berjalan mendekat, lalu melempar sarung yang melingkar di lehernya ke arahku. "Nih pake! Baju kamu basah tuh! Kabur kok di taman bermain," ujarnya saat itu, lalu pergi meninggalkanku yang masih mematung bingung.
"Woi, Alfian!!!! Ini sarung kamu gimana?!"
"Pakai aja. Balikinnya kalau udah dicuci bersih dan wangi, ya!" teriak Alfian yang terus berjalan tanpa menoleh ke belakang.
Sialan! Kenapa sih di hobi banget ngerjain orang! ujarku dalam hati.
Hari sudah makin malam, hujan pun sudah reda. Aku rasa Sita, Budhe Yanti, dan Pakdhe Agus juga sudah pulang. Aku pun bergegas pergi dari taman bermain. Sepanjang perjalanan ke rumah aku selalu membayangkan akan makin jauh dari Sita. Masih satu kota aja jarang ketemu, gimana beda kota.
Rasanya ingin sekali menyampaikan keberatanku, tetapi aku tahu diri. Jika mengingat jasa keluarga Budhe untuk keluarga ini.
Langkah kakiku berhenti ketika melihat ayah sedang merokok di pelataran rumah. Menyadari kehadiranku, ayah langsung mematikan rokoknya, dan tangannya memberi gestur agar aku duduk di samping.
"Sarung siapa tuh?"
Tanganku meraba sarung milik Alfian yang melekat di pundakku. "Oh ... ini ... punya teman."
"Tadi ke mana saja? Sita dan ayah mencari kamu karena hujan turun sangat deras. Kami sangat khawatir."
Kepalaku menunduk ke bawah lantai. Merasa sangat bersalah karena bertindak terlalu gegabah. "Maaf." Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Ayah tidak banyak bertanya lagi, mungkin takut aku merasa dipojokan.
Malam itu, kami duduk berdua tanpa bicara. Ayah dan aku terlalu sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Tidak peduli seberapa berat dan sedihnya, hidup memang harus terus berjalan tanpa jeda.
***
to be continued

KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Sunshine (Selesai)
Storie d'amoreTidak ada yang spesial dalam hidup Lita sebelum akhirnya kuliah di Bandung, lalu bertemu lagi dengan Alfian, teman SD yang dulu pernah mencium pipinya di depan banyak orang. Alfian tumbuh menjadi pria berbeda, Lita tahu dari bagaimana Alfian menata...