Boleh play "Que Sera Sera"
di pertengahan membaca
Enjoy your reading!Di sebuah bangku yang terletak di samping ruang IGD itu, terlihat Ara yang tengah terduduk diam.
Sosok itu hanya menatap kosong ubin lantai, tak ada terciptanya percakapan dengan Adel yang kini tengah bersandar pada tembok tepat di hadapannya.
Suasana hening yang sedari tadi menyelimuti membuat suasana pada rumah sakit malam hari itu terasa aneh.
"Lo ngerasa ada yang aneh gak?" sebuah celetukan tercipta setelah sedari awal menginjakan kaki di tempat itu hanya ada hening antara dua gadis itu.
"Maksud lo?" Ara menatap Adel yang terlihat seperti menimang perkataan yang akan terlontar dari mulutnya.
"Lo ngerasa ga sih? Sepanjang jalan menuju tempat Devan tadi, gue cuma lihat hutan lebat aja di perjalanan." ucap Adel pada akhirnya.
Ara terdiam. Dia tak menanggapi ucapan Adel karena memang disepanjang jalan, ia juga melihat hal yang sama. Hanya ada hutan lebat yang mereka lalui. Bahkan, ia juga merasa cukup lama menempuh perjalanan untuk keluar dari hutan tersebut agar sampai pada titik lokasi yang Devan berikan. Itulah sebabnya dia dan Gracia datang terlambat untuk membantu Herris. Padahal mereka juga pastinya memacu kendaraan tak kalah kencang dengan Herris, apalagi jarak waktu antara keberangkatan Herris dengan mereka tidak begitu jauh. Namun, Herris malah sudah tidak terlihat sama sekali oleh mereka. Aneh, batin Ara.
"Dan gue juga gak liat rumah sakit ini sepanjang jalan Ra." ucapan Adel ini sontak membuat bulu-bulu halus pada sekujur tubuh Ara terangkat. Sedari tadi dia berusaha untuk menjauhkan pikiran itu.
"Udah ah, diem. Yang penting sekarang Herris udah dapat pertolongan. Mungkin lo lagi gak fokus aja." jawab Ara.
Adel hanya diam. Tak mungkin tempat sebesar ini tidak terlihat sama sekali sepanjang perjalanan.
Adel menoleh ke kiri dan ke kanan, di sepanjang matanya memandang lorong rumah sakit itu, hanya terlihat sebuah kekosongan. Suasana terasa mencekam. Hanya ada mereka berdua di sini. Tak adanya tanda-tanda kehidupan kecuali mereka berdua. Bahkan saat menginjakkan kaki di tempat ini, mereka hanya menemukan satu dokter dan satu suster yang langsung membawa Herris ke ruang IGD.
"Gue mau keluar bentar liat anak-anak. Lo mau ikut gak?" ucap Adel.
"Gak, gue disini aja."
"Bae-bae Ra, kalo ada neng unti jangan lo embat juga sama gombalan maut lo." canda Adel berusaha mencairkan suasana.
"Ngadi-ngadi lu yak!" balas Ara memelototi Adel. Bisa-bisanya bocah satu ini membahas hal seperti itu di waktu dan tempat yang tidak tepat.
"Dah pergi sono!" usir Ara.
"Yeee.. bae-bae lu." ucap Adel hendak pergi namun pergerakannya terhenti. Badannya terlihat kaku dengan tangan gemetar menunjuk sesuatu dibelakang Ara dengan wajah ketakutan.
Ara yang melihat itu mendadak kaku. Dengan nafas tercekat dan dengan susah payah menelan salivanya, Ara berbalik secara perlahan dan..
"WAAAA!! AAAA!!" teriakan dari Adel sontak membuat Ara terperanjat dan reflek ikut berteriak.
Adel mendadak berlari duluan meninggalkan Ara hingga sebuah sepatu melayang melewati sebelah kanan wajahnya yang nyaris tercium lemparan sepatu itu.
"BOCAH GENDENG!" teriak Ara yang dibalas tertawa menggelegar dari Adel.
Tak ada sosok entitas kunti bogel, pocong, atau hantu anak kecil berkepala botak yang berada di belakang Ara tadi. Adel mengerjainya hingga membuat sebelah sepatu dari Ara harus melayang untuk menimpuk sosok itu meskipun meleset.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amtrak (PENDING)
Teen FictionSebuah kisah klasik tentang anak-anak remaja yang mengejar cintanya. Namun petualangan tak terduga pun hadir membawa ketegangan, aksi, serta rasa cinta yang perlahan muncul dari setiap insan seiring dengan berjalannya petulangan yang mereka lalui. B...