Hari ini adalah hari pertama kelas astronomi. Saat mendaftarkan diri dua hari lalu. Jujur aku sedikit ragu. Bukan karena takut berhadapan dengan Pak Munzir yang galaknya minta ampun itu--Pak Munzir adalah guru matematika saat kelas pertama. Alasan sebenarnya, aku takut tidak lolos tahap administrasi. Dari informasi simpang siur yang kudapat, kelas astronomi terkenal sangat sulit untuk dimasuki. Hanya beberapa orang yang bisa masuk ke kelas tersebut, bahkan pernah satu tahun penuh tidak ada orang sama sekali. Aku sendiri bingung, bagaimana kelas astronomi bisa bertahan sampai sekarang. Dari rumor yang beredar, ruang astronomi adalah rumah keduanya Pak Munzir. Pak Munzir terkadang bermalam di sana. Barangkali kecintaan Pak Munzir terhadap rumah keduanya itu membuat siapa pun tak iba untuk membubarkan kelas yang diampunya.
Ruang astronomi sendiri berada di gedung tinggi mencolok yang waktu itu menarik perhatianku. Bukan hanya astronomi, tetapi semua ruangan untuk kegiatan di luar kelas berada di gedung itu. Sungguh luar biasa, bagaimana sekolah begitu memfasilitasi minat dan bakat siswanya.
Aku dan Luna hendak ke ruang astronomi. Ya, kami berdua lolos tahap administrasi. Tanpa proses wawancara, kami berdua secara resmi sudah menjadi bagian dari kelas astronomi. Fakta sebenarnya, hanya tiga orang yang mendaftar di kelas ini, dan semuanya lolos.
Dari denah gedung yang kami baca di dekat pintu masuk. Ruang astronomi berada di lantai tiga, lantai paling atas. Agaknya semua kelas yang basisnya mempelajari teori berada di lantai atas. Bertujuan untuk meminimalisir kebisingan. Sedangkan untuk kelas olahraga berada di lantai satu. Musik dan seni ada di lantai dua.
Aku dan Luna naik ke lantai tiga menggunakan tangga. Lift hanya dipakai untuk mengangkut barang. Aku tidak menggurutu sama sekali. Aktivitas menaiki tangga merupakan satu-satunya kesempatanku untuk berolahraga. Maklum, aku tidak pernah menyukai olahraga apa pun.
Miller sering menawariku untuk bergabung dalam tim futsalnya. Namun, aku selalu menolak. Dia mau mengajak Suai Namun pun rasanya sulit karena anak itu jarang ada di asrama. Aku tidak tahu ke mana Suai Namun. Dia biasa pulang larut malam. Banyak yang aku tidak tahu tentang dia. Satu-satunya yang kutahu, dia sudah tidak memindahkan pasir lagi.
Di kelas pun Suai Namun sering lupa dengan PR-nya, jadi dia suka menyalin punyaku, tetapi dengan sedikit modifikasi. Modifikasi di sini artinya mengganti jawaban yang salah ke jawaban yang benar. Sehingga berakhir dengan aku yang ikut mengganti jawaban.
Suai Namun telah dikonfirmasi akan mewakili sekolah ke tingkat kabupaten untuk cabang olimpiade matematika. Padahal dia tidak pernah ikut kelas matematika tambahan. Dia begitu mencolok di kelas, bahkan pernah ditawari olimpiade fisika. Sayangnya dia menolak dan hanya ingin fokus di matematika.
"Kenapa kamu mengambil astronomi?" tanyaku pada Luna dengan tetap memperhatikan langkah. Kami sudah berada di lantai dua.
"Karena aku malas bersaing. Anak di kelas matematika banyak sekali, 30 orang bersaing hanya untuk mewakili sekolah. Lebih baik aku mengundurkan diri saja. Untung kelas astronomi masih buka pendaftaran."
"Jadi, kamu tidak mengganggapku saingan?"
"Bukan begitu. Kita pasti bersaing, kok, tapi di tingkat kabupaten. Kan yang mewakili sekolah ada tiga orang. Lalu, kita beruntung di kelas astronomi hanya ada tiga orang."
"Oh, oke," kataku.
Kami sudah berada tepat di depan pintu ruangan yang kami cari. Aku menggeser kenopnya. Lalu masuk. Di ruangan ini tidak ada orang sama sekali, padahal sekitar 3 menit lagi seharusnya kelas sudah dimulai. Aku lupa, apa yang diharapkan dari kelas yang anggotanya hanya tiga orang. Kemungkinan satu orang lagi itu, bisa saja tidak datang sama sekali.
Di ruang kelas ini kami seolah tidak diberi kesempatan memilih tempat duduk. Hanya ada satu bangku melingkar dengan tiga kursi. Sisa ruangan dimanfaatkan sebagai tempat meletakkan alat-alat astronomi sederhana dan juga rak-rak buku.
Aku dan Luna duduk bersebelahan. Tak lama setelah kami duduk. Pintu ruangan terbuka. Laki-laki berbadan tinggi tegap masuk dengan langkah kakinya yang begitu kasar. Dia duduk melengkapi satu kursi yang kosong.
Dia begitu sombong. Saat Luna menyapanya pun dia tetap bertingkah seolah tidak ada orang di sekitarnya. Aku merasa tidak sudi tersenyum ramah ke arahnya. Apakah dia mengidap suatu penyakit minim empati?
Dari bentuk badan. Aku merasa tidak asing dengan laki-laki itu. Benar, dia orang yang tak sengaja menabrakku di lorong. Itu berarti dia teman Miller. Apa yang melatarbelakanginya sehingga memilih masuk ke kelas astronomi?
"Hanya tiga orang?" tanya Pak Munzir. Langkahnya cepat dan juga pelan sehingga aku tidak menyadari kehadirannya. Ditambah, aku begitu fokus dengan ponsel.
Sadar akan keberadaan Pak Munzir yang bisa saja mengancam. Aku buru-buru menyimpan ponsel ke dalam tas.
"Iya, tiga orang, Pak," jawab Luna.
"Terlalu banyak."
Jawaban tegas dari Pak Munzir itu sontak membuatku dan Luna saling tatap beberapa detik.
"Walaupun tiap sekolah diberi kesempatan untuk mengirim maksimal tiga siswa ke tingkat kabupaten. Terkhusus kelas astronomi yang menjadi tangung jawab saya. Hanya ada satu orang yang berhak mewakili sekolah."
Kebijakan macam apa itu? Sungguh di luar dugaan. Berarti kami sudah harus bersaing di tingkat sekolah. Aku khawatir dengan Luna, apakah dia akan mengundurkan diri lagi?
"Kenapa seperti itu, Pak?" tanya Luna.
"Sudah jelas, aku tidak mau mencoreng nama sekolah. Kalian masuk ke kelas astronomi tanpa penyaringan ketat, kan? Aku tidak mau kualitas yang tidak tersaring sempurna itu maju mewakili sekolah."
"Bagaimana cara, Bapak menyaringnya? Bukankah kami yang sudah berhasil masuk ke sekolah ini saja sudah dapat dikatakan tersaring dengan baik?" kata anak sombong itu. Sebenarnya ini agak mengejutkan.
"Apakah ada tes astronomi pada soal ujian seleksi kalian itu?" tanya Pak Munzir.
"Tidak ada," jawab Si Anak Sombong.
"Misalkan saya berhasil menemukan satu orang itu, dan saya masih merasa kurang. Terpaksa, tidak akan ada yang mewakili sekolah. Sama seperti tahun kemarin."
Siapa yang tidak shock mendengarnya. Jawaban Pak Munzir bagai pisau bermata dua. Pada beberapa orang, kebijakan seperti itu akan memacu semangat persaingan. Sedangkan beberapa orang lagi akan merasa putus asa. Aku berada di pihak putus asa.
Pak Munzir mengeluarkan beberapa lembar kertas dari laci mejanya. "Saya ingin melihat kemampuan kalian terlebih dahulu. Ingat, saya tidak menginginkan hasil sempurna. Namun, saya mengharapkan seseorang yang mampu berkembang." Pak Munzir menyerahkan kertas yang dipegangnya kepada kami. Setelah kami semua mendapat kertas soal, dia kembali duduk di kursinya. "Kerjakan dalam waktu lima jam."
Usai menerima lembar soal. Aku butuh beberapa detik untuk mengambil napas panjang dan menenangkan diri. Setelah dirasa cukup tenang. Aku kembali melihat kertas di hadapanku. Hanya ada satu nomor dengan waktu lima jam. Satu nomor yang tidak mudah pastinya.
"Eggy, ini bagaimana? Aku tidak pernah mengerjakan soal astronomi," kata Luna sambil menggigit jarinya.
"Sepertinya kita tidak boleh berdiskusi," kataku. Takut kejadian di kelas matematika terulang lagi.
"Iya, deh," balas Luna.
Curi-curi pandang. Aku melihat ke arah anak sombong itu. Dia sama sekali tidak terdistraksi oleh kami berdua. Dia tampak begitu serius melihat lembar soalnya.
***
Terima kasih telah membaca.
Vote dan comment, please! Kalau aku sadar akan kehadiran kalian. Pastinya aku akan sangat senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEBULA [15+]
Teen FictionUmurku 14 tahun, pecinta buku yang lumayan terobsesi pada benda langit. Dan, aku tidak terima, kenapa harus mendapat panggilan sehina itu? "Duda Miskin," ejek Miller sepupuku. Ya betul, ini kesalahanku. Semua dimulai saat malam, ketika Bella tiba-ti...