Tet! Tet!
Bel pergantian jam berbunyi, membuatku dan Haikal terkejut.
"Anjir udah ganti jam! Kayaknya jam tangan lu terlalu lambat atau bel di sini diset terlalu cepat." Kataku. "Buruan dah sekarang!" .
Kami mengambil seragam putih abu kami lalu bergegas ke kamar mandi.
Di kamar mandi terdapat empat bilik untuk toilet duduk, dan tiga dalam posisi tertutup.
Hanya ada satu bilik yang terbuka dan kosong."Ganti aja di situ yuk berdua!" Usul Haikal.
Aku awalnya enggan, ingin bergantian saja ganti bajunya. Tapi mengingat kami harus segera kembali ke kelas—mata pelajaran setelah ini adalah Sosiologi dan gurunya selalu datang tepat waktu serta disiplin—aku mau tidak mau mengiyakan.
Aku dan Haikal akhirnya masuk ke bilik itu. Setelah menutup dan mengunci pintu, kami menggantungkan pakaian pada gantungan yang ada di belakang pintu.
Haikal tanpa babibu segera melepaskan kaus olahraganya.
Deg!
Aku tertegun.
Sejauh ini, pengalamanku melihat pria bertubuh atletis adalah di iklan susu penambah massa otot dan di desain kemasan celana dalam pria. Sekarang, aku melihat di depan mataku sendiri, untuk pertama kalinya, tubuh atletis dari temanku, Haikal.
Dadanya yang bidang tampak padat. Tidak kering, tetapi tidak basah. Pas. Perutnya dihiasi abs yang tercetak sempurna membentuk enam kotak. Bulu-bulu halus bertaburan, menghiasi bagian pusar ke bawah, terus melebat hingga ditelan celana dalamnya. Meski bilik itu minim pencahayaan, aku bisa melihat, bulir-bulir keringat membuat kulitnya tampak licin dan berkilauan, tampak segar dan... seksi. Tubuhnya yang dibanjiri keringat itu kemudian diusapnya dengan kaus olahraganya.
Ia sekarang berbalik badan, membuatku bisa melihat punggungnya. Selain berkilauan dibasahi keringat, punggungnya juga begitu mulus. Tercetak jelas otot-otot padat yang saling bersinergi merajut punggungnya sehingga berbentuk segitiga terbalik, tampak lebar dan bidang di bahu, dan ramping di pinggangnya.
Aku menelan ludah. Melihat semua pemandangan itu, hadir berbagai macam perasaan yang tak dapat kujelaskan. Seperti, ingin menyentuh dan merengkuh tubuh itu?
"Anjir!" Haikal tiba-tiba memekik. Membuyarkan fantasiku. Aku yang tersadar akan waktu yang semakin menipis segera ikutan membuka kausku dan mengelap keringat di sana.
"Kenapa, Kal?" Tanyaku sambil mengelap tubuhku.
"Gua lupa bawa daleman."
"Maksudnya masih di kelas atau ga bawa dari rumah?"
"Nah gua juga lupa itu, ga tau emang ga kebawa atau ada di kelas. Udah lah, ya! Semoga nggak tembus pandang. Mana gua basah kuyup gini lagi!"
Aku terkikik. "Kalau tembus pandang pasti cewe-cewe pada histeris."
"Hahaha!" Haikal tertawa.
Haikal berbalik lagi menghadapku dan mulai menggunakan seragamnya. Kini sambil mengenakan seragamku sendiri, aku masih terus mengagumi lekuk otot dada dan abs milik Haikal. Setelah kedua lengannya masuk, ia mulai mengancingkan kemejanya dari bawah. Perlahan-lahan lekuk-lekuk otot torso Haikal mulai lenyap terbungkus kemeja seragam putihnya. Semacam ada rasa tidak rela karena pemandangan menakjubkan itu tidak dapat kulihat lagi.
Haikal benar. Tubuh atletisnya memang terbungkus rapat dalam kemeja itu dan tidak tembus pandang. Namun, ia mampu menembus jauh ke dalam pikiranku, menjadi bahan fantasiku yang berpadu dengan sensasi nikmat di ujung bawah perutku, di ujung malam, di atas lantai keramik kamar mandiku yang dingin.
***
Waktu itu sepulang sekolah, aku sedang mencari buku referensi untuk tugas di perpustakaan.
"Aldi!" Bisik sebuah suara.
Aku yang tengah membaca buku menoleh. Di hadapanku berdiri seorang Haikal yang gagah, sedang menyunggingkan senyum manisnya. Ada kehangatan yang merebak di rongga dadaku.
"Lagi ngapain lu?" Tanyanya.
"Main petak umpet." Kataku asal. "Jelas-jelas lagi baca gini masih tanya aja lu, Kal!"
Haikal terkikik. "Puas banget gua godain lu."
Aku ikut terkikik. Tapi, tunggu—ngapain Haikal ke perpustakaan? Aku segera bertanya, "Ade ape lu di mari?"
"Nyariin elu."
Whut? Haikal mencariku?
Aku bertanya-tanya. Akhir-akhir ini aku tidak dekat dengan Haikal. Terakhir kami berinteraksi cukup dekat sekitar dua minggu yang lalu, saat aku dan Haikal duduk sebangku. Sejak itu, kami tidak pernah duduk sebangku lagi. Interaksi kami juga sebatas saat pergi bersama ke kantin, itupun dengan anak-anak laki-laki lainnya. Dua kali olah raga terakhir tidak ada pengambilan nilai. Kami dibiarkan untuk bermain basket dan futsal. Otomatis, tidak ada kesempatan bagi Haikal untuk men-tutor-i aku seperti saat materi volley dua minggu sebelumnya.
"Ada apa?"
"Lu kira-kira masih berapa lama si sini? Sama habis ini ada acara nggak?"
Aku mengatakan sudah mendapatkan buku yang kucari, dan aku tidak ada acara setelah ini. Aku lalu bertanya kenapa
"Temenin gua keliling muter-muter mau, nggak?"
***
Bersambung.
Terima kasih sudah membaca.
Jika berkenan, bagikan juga kritik dan saranmu untuk karya2 saya sejauh ini dengan menambahkan komentar pada kalimat2 di cerita saya atau fitur komentar di bawah.
Saya masih pemula nih, ajarin dong puh sepuh :DDukung juga karya ini dan beri semangat bagi penulis dengan memberi vote, ya!
Danke!
KAMU SEDANG MEMBACA
Buaian Tubuh Perkasa
RandomDisclaimer: 18++, LGBT if this disturbs you, skip it! Kumpulan cerita individu-individu sesama jenis yang menyelami erotika tubuh atletis dalam pergumulan yang panas dan menantang.