Cemburu?

4 2 0
                                    

Lutut Rachel melemas ketika sadar bahwa ada William di sampingnya dan ada Rita di sisi Mr. Milo. Senyum mempesona milik Mr. Milo terkembang ke arahnya. Hanya ada satu makna di balik senyum itu: Mr. Milo pastilah mengira bahwa ia dan William berpacaran. Senyum Mr. Milo itu seperti menggodanya, mencandainya.

Sebaliknya, mengapa Rita terlihat begitu cantik di samping Mr. Milo? Bagaimana mereka bisa bertemu di mall ini? Apakah juga karena kebetulan, atau lebih parah lagi, mereka sudah janjian? Apakah Rachel sedang cemburu sekarang? Mengapa?

Rachel merasa ingin tenggelam ke dasar bumi, hilang dan tak muncul-muncul lagi. Ia ingin mengatakan kepada Mr. Milo bahwa gurunya itu salah paham. Ia dan William tidak memiliki hubungan apa-apa. Masalahnya, untuk apa ia harus mengatakan hal itu kepada Mr. Milo. Ia dan Mr. Milo 'kan bukan siapa-siapa selain guru dan murid. Mereka tidak memiliki hubungan khusus apapun. Memangnya bila pun Mr. Milo salah paham, apakah itu ada pengaruhnya?

"Hi, Will. Hi Rach. Seru filmnya?" sapa Rita ramah kepada William dan Rachel.

"Hi, guys. Kebetulan banget ketemu disini. Habis nonton ya kata Rita tadi?" ujar Mr. Milo. Pandangannya lurus ke arah Rachel yang sebenarnya terlihat gugup.

William tersenyum lebar. "Halo, Pak. Iya, baru aja selesai," jawab William singkat. Namun, terlihat sekali wajahnya sumringah.

'Bapak darimana nih?" akhirnya Rachel bertanya, berusaha terdengar sewajar mungkin.

"Ini tadi habis lihat pameran bahari. Pas Rita juga datang. Barengan, deh. Kebetulan ketemu kalian juga," ujar Mr. Milo yang bagi Rachel tidak adil. Mr. Milo terdengar begitu wajar, sedangkan ia sangat gugup. Seperti ketahuan sedang selingkuh saja. Padahal ia dan Mr. Milo tidak ada hubungan apa-apa. Yang lebih mengesalkan adalah Rita yang beruntung pergi ke pameran itu bersama Mr. Milo terlihat begitu cantik dan memikat. Rachel tak pernah sadar bahwa Rita semenarik ini. Jelas-jelas ia sedang cemburu, tetapi di saat yang sama juga merasa bersalah karena telah menerima ajakan William untuk pergi nonton berdua. Ini menciptakan kesan keduanya sedang berpacaran.

"Oooh ..." ujar Rachel panjang sembari memonyongkan bibirnya. Ia jelas masih gugup dan bingung harus bertindak atau berbicara apa.

"So. Rita, mau kemana sekarang? Mau pulang barengan aja?" tanya Rachel. Ia tahu ia tidak akrab dengan saudari William itu. Selain pendiam dan introver, Rita cenderung dingin. Namun, hari ini ia sangat berharap bahwa pertemuan Rita dan Mr. Milo di mall tersebut cukup sampai disini aja. Ia tak bisa membayangkan bila Rita misalnya pergi ke suatu tempat bersama Mr. Milo.

"Gak usah, Rach. Aku pakai taksi online. Masih ada keperluan. Kalian berangkat aja dulu. Mau kemana dulu, mungkin. Aku nggak mau ganggu," ujar Rita. Senyumannya yang menggoda William dan Rachel terkembang lebar.

"Iya, you pulang duluan deh ya. I sama Rachel mau cari makan dulu," ujar William.

Damn! Pikir Rachel. Ia memang sudah menyetujui rencana William. Setelah menonton mereka memang masih ingin pergi ke tempat makan. Itu juga ia menyerahkan semua rencananya kepada William. Tidak mungkin ia mendadak membatalkannya. Akan janggal dalam kondisi seperti ini, serta membuat William kesal.

"Alrite, see ya at home, Rach. Hati-hati ya. Pak, sampai bertemu lagi," ujar William kepada Rita dan Mr. Milo.

Rachel mengangguk dan tersenyum masam ke arah Rita dan terutama Mr. Milo. Ia merasa dikhianati karena ketiga yang lain: William, Rita dan Mr. Milo tersenyum lebar, sumringah, sembari melambaikan tangan mereka. Mereka semua terlihat ceria dan bahagia. William senang karena ia berjalan bersama Rachel. Rita mungkin karena senang saudara kembarnya berhasil kencan dengan Rachel atau bisa saja karena bersama Mr. Milo entah berapa lama di pameran bahari tersebut. Sedangkan Mr. Milo mungkin karena sedang mencandainya, berpikir bahwa Rachel ternyata telah memiliki seorang pacar.

Tidak adil, pikir Rachel. Ia harusnya yang pergi bersama Mr. Milo lagi hari ini, dan Mr. Milo tidak seharusnya terlihat bahagia seperti itu.

Rachel kesal sekali. Mendadak mood-nya hancur sehancur-hancurnya. Ia mau menangis rasanya. Meninggalkan semuanya, lari ke atas tempat tidur, menutup wajahnya dengan bantal dan tidak perlu bangun untuk berangkat ke sekolah esok hari. Masalahnya, sekarang saja ia masih harus pergi makan dengan William.

"Kamu mau makan apa, Rach?"

"Terserah kamu deh, Wil. Aku ikut aja," balas Rachel ketika keduanya sudah berada di dalam mobil. Rachel masih berusaha setengah mati agar perubahan perasaannya tidak terlalu terdeteksi.

Namun, William dengan mudah melihat semua itu. sepasang pipi dan bibir Rachel langsung memerah. Itu tanda ia sedang memendam sesuatu. "Kamu nggap apa-apa, Rach? Kamu nggak enak badan, atau ... lagi nggak ada mood, mungkin?"

Rachel menatap William kemudian tersenyum kecut. "Iya, Wil. Honesly, I'm suddenly not in a good mood."

William mengangguk prihatin tetapi paham. "I see. Apa karena ketemu Rita sama Mr. Milo tadi?"

Rachel memicingkan matanya. "Kok, kamu bisa mikir kayak gitu?"

"Hmm ... gak tahu juga sih. Mungkin kamu merasa ... malu, atau nggak enak karena jalan sama aku."

Rachel menghela nafas panjang. "Wil, I want you to know that it wasn't your fault. You are not wrong. Aku menikmati filmnya kok. Jujur. Aku aja yang nyebelin. Dan sebenarnya aku sekarang laper banget. Jadi, gimana kalau lupakan aja apapun alasanku. Kita makan aja. Terserah kamu mau ajak aku kemana. Mungkin setelah makan mood aku kembali," ujar Rachel. Ia tersenyum lebar.

"Kamu serius, Rach? Kalau mau aku antar pulang, aku nggak masalah kok. Maaf, buat kamu jadi nggak mood gini."

"Apaan, sih, kamu Wil. I'm ok. I need food, I guess. Aku cuma butuh makan." Rachel kemudian tertawa. Wajahnya berhasil menyamarkan perasaannya yang berantakan dan tumpang tindih itu.

William ikut tersenyum. Ia tak mendapatkan jawaban, tetapi lega karena wajah cantik Rachel yang kembali memesonakannya itu seakan meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja.

Rachel bukan seorang gadis yang menyebalkan. Ia bisa saja kehilangan mood seketika, tetapi ia juga seorang perasa dan peka. Ia tak mampu membuat orang lain merasa tidak nyaman karena perilakunya. Ia memang jujur bahwa ia menikmati film yang mereka tonton tadi. Di saat yang sama, ia merasa tidak mungkin melupakan kejadian tadi, pertemuannya dengan Mr. Milo. Ia kesal dan tidak lagi memiliki semangat, meskipun ia sendiri masih memiliki banyak pertanyaan mengapa ia harus sampai kesal seperti ini.

Sialnya, ia juga termasuk gadis yang tidak enakan. Semua hal yang sudah ia bicarakan dengan sahabat-sahabat segengnya mengenai apa yang harus ia lakukan untuk menegaskan hubungan diantara dirinya dan William buyar sudah. Ia tidak enak membuat William kecewa. Jangankan untuk mengatakan bahwa ia tidak memiliki perasaan khusus kepada William, bahkan mebuat William kecewa karena ia sedang tidak mood saja ia tak tega.

Entahlah. Yang jelas, ia harus makan dulu. Mungkin setelah makan pikirannya akan lebih terbuka sehingga ia bisa mendapatkan jawaban untuk hatinya yang sedang gundah gulana tersebut.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang