Bagian Pertama

39 7 2
                                    

Cahaya temaram. Sejak di dalam kelas, suasana tidak seperti biasanya. Memang musin hujan mulai datang, meski tidak sesuai dengan prediksi sebelumnya. Pukul setengah tiga sore, tetapi keadaan di dalam maupun di luar ruangan seperti sudah menginjak waktu magrib.

Suara langkah terdengar beriringan, kebetulan ada beberapa kelas yang baru saja mengakhiri pembelajaran. Seperti kelas yang dihuni oleh Kayrin. Biasanya pada hari Selasa seperti ini, ia akan pulang pukul setengah dua belas. Namun, dosen dari mata kuliah ini tiba-tiba meminta jadwalnya diganti.

Sampai di luar, hujan tiba-tiba turun dengan perlahan. Suaranya menderu, menetes di antara atap, menatap setiap dedaunan, dan yang pasti mengisi semua genangan. Kayrin ingat, dia tidak membawa jas hujan atau payung. Gadis itu lalu berlari memasuki gedung terdekat, sembari mengeluarkan ponsel dari tasnya.

"Hai, Kay!" Seorang pemuda menghampirinya.

"Hai! Enggak pulang?" balas Kayrin.

"Enggak bawa jas hujan. Kamu juga?" Pemuda bernama Dean itu menjawab.

Kayrin mengangguk, membenarkan. Ia lalu kembali fokus pada ponselnya, memberi tahu keluarganya bahwa ia tidak bisa kembali lebih awal.

"Suasanya beda, ya. Mungkin karena kebanyakan musim panas, jadinya kena hujan dikit, kaget." Dean berujar.

"Jelas. Makanya banyak yang neduh, tuh." Dagu Kayrin memberi isyarat untuk Dean menoleh ke sebuah arah. "Lainnya kalau mau nerobos juga bisa, tapi bisa juga sakit kalau enggak kuat."

Dean tersenyum tipis. Ia lalu menyerahkan sebungkus permen kopi pada Kayrin, bungkus yang lain ia buka sendiri dan memasukkan isinya ke dalam mulut. Kayrin menerima bungkusan itu, lalu ikut melakukan apa yang Dean lakukan terhadap si permen.

Di sisi lain, Kavin yang baru saja selesai mandi, membuka ponsel setelah terdengar bunyi notifikasi. Dibacanya pesan dari si adik yang berada di pesan grup keluarganya. Ia lalu membalas, jika dirinya siap apabila diminta menjemput sekarang juga.

Sedetik kemudian, pintunya diketuk dengan tenang. Ibunya masuk ke dalam kamar, meminta agar putranya menjemput Kayrin menggunakan mobil yang terparkir di garasi. Kavin pun menyanggupi, ia keluar dari kamar dengan tampilan seadanya.

Di ruang tengah, ayahnya buru-buru keluar dari kamar. Berpapasanlah mereka.

"Ayah mau ke mana?" tanya Kavin. Ia melihat kunci mobil berada di tangan ayahnya.

"Mau keluar sebentar," balas ayahnya.

Kavin mengangguk paham. "Kavin mau jemput Kayrin. Mobilnya mau Ayah pakai?"

Ayahnya menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah putranya. "Kamu di rumah aja, biar Ayah yang jemput Kayrin sekalian."

"Oh. Oke."

✧・゚: *✧・゚:*

"Aku cabut dulu, ya." Dean berdiri, sembari memperbaiki posisi tas yang ia pakai.

Kayrin masih setia dengan mangkuk mi ayamnya. "Loh, pulang sekarang? Ngapain?"

Dean tertawa renyah. "Aku mau ada urusan. Mumpung udah lumayan reda, aku balik sekarang aja. Kamu gak jadi dijemput?"

Wajah Kayrin tertekuk. Ia agaknya kesal, tetapi tentu tidak dapat menahan. Karena ia tidak tahu, kapan ayahnya akan sampai di kampus. Secara sang ayah sedang ada urusan yang entah kapan selesainya. Gadis itu mengangguk beberapa kali.

"Jadi, kok. Ya udah kalau gitu. Hati-hati, ya." Kayrin tersenyum setelahnya.

Dean berpamit. Ia mengelurkan kunci motornya dan berjalan meninggalkan kantin. Sejak dua jam lalu, keduanya memutuskan untuk berpindah posisi, dari gedung prodi Bisnis Digital ke kantin setelah memberanikan diri menembus hujan.

Kayrin kesepian. Di kantin juga tidak banyak orang. Hanya beberapa mahasiswa yang sepertinya nanti akan ada acara. Ia kembali fokus pada mi ayam miliknya yang rasanya tidak habis-habis. Karena itu, tidak salah jika ia dan teman-temannya memberi sebutan mi ayam ini sebagai mi unlimited.

Gadis itu menarik karet yang sejak tadi mengikat rambutnya, meletakkannya di atas meja. Ia lantas kembali melanjutkan kegiatannya, agar segera habis makanannya. Entah mengapa, waktu terasa berjalan sangat lambat. Bahkan setelah menghabiskan waktu dua jam untuk berbincang dengan Dean pun rasanya masih lama.

Kantin semakin seli rasanya. Tidak terasa, sudah satu setengah jam setelah Dean pergi duluan. Kayrin kembali membuka ponselnya yang sepeti tidak ada pergerakan. Gadis itu menghela napas lelah, lelah karena ia akhirnya menyadari bahwa mangkuknya sudah habis sejak tadi dan baru saja penjual mi ayam itu mengambil mangkuknya dan mengatakan, bahwa kantin akan segera tutup.

"Lah, terus saya gimana, Pak?" Kayrin menampilkan wajah melas. Sedangkan bapak penjual mi ayam hanya tersenyum, lantas meninggalkan pelanggannya itu sendiri.

Dengan langkah yang lemah, ia keluar dari area fakultas. Gadis itu membuka ponselnya, mencari-cari pesan yang sekiranya perlu untuk dibalas. Tidak lama, notifikasi muncul, tanda bahwa ayahnya telah tiba. Gadis itu lalu mendongak, menatap ke depan. Ayahnya melambaikan tangan dari dalam mobil.

Kayrin kembali bersemangat. Ia membalas lambaian tangan ayahnya. Ia berlari, menyeberang jalanan yang sepi. Ya, sepi, sehingga pengendara mobil yang baru saja berbelok itu tidak sadar bahwa ia tetap harus menurunkan kecepatan di area ini. Jalanan yang seharusnya tidak begitu lebar, entah kenapa terasa begitu lama. Waktu pun seakan berhenti, ketika tanpa diduga, tubuh Kayrin terhempas setelah sebuah mobil menabrak tubuh kecilnya.

Gadis itu membuka mata perlahan. Ia tidak merasakan apa-apa, tubuhnya seperti mati rasa—untuk beberapa saat—karena setelah itu, rasa sakit mulai menjalar di tubuhnya. Ia lalu meringis, setelah melihat dari ekor matanya, bahwa ada darah melintas di kepalanya. Ia merasakannya, seperti adegan di film-film yang ia dirinya saksikan. Setelah itu, pandangannya memburam. Matanya terpejam.

✧・゚: *✧・゚:*

"Perasaan Ibu, kok, enggak enak gini, ya?" Ibu berkata, setelah meletakkan panci berisi sayur asam di atas meja makan.

Kavin duduk di salah satu kursi, lalu menatap ibunya cukup lama. "Jangan khawatir, Bu. Tenang aja."

Mendapati jawaban si anak, Ibu hanya bisa diam. Matanya menatap ke arah kiri sisinya berdiri, tepat di ruang tengah, di mana ada jam dinding yang cukup besar berada di sana. Pukul setengah delapan malam, tetapi suami dan anak perempuannya belum ada kabar.

"Kavin, kamu coba cari tau di mana Ayah sama Kayrin. Kok, sampai sekarang belum ada kabar?" pintu Ibu.

Kavin mengangguk, lalu membuka ponselnya. Ia melakukan apa yang ibunya minta, mengirim pesan untuk ayah dan adiknya. Namun, beberapa saat kemudian, dirinya mendapatkan balasan yang tidak sesuai dengan ekspektasi.

"Bu, Kayrin kecelakaan!" ucap Kavin dengan cepat.

Reaksi yang ditimbulkan, tentu saja tidak keruan. Pada saat itu juga, keduanya bersiap untuk menuju ke rumah sakit tempat Kayrin dibawa. Ibu terus merapalkan doa, berharap keselamatan untuk putrinya. Membelah jalan raya, menembus hujan yang kembali datang. Kavin berharap cemas.

Halo! Aku kembali hadir dengan karya yang sebelumnya belum pernah aku coba untuk publish. Semoga teman-teman suka, ya. Jangan lupa untuk memberi kritik dan saran melalui kolom komentar!

Terima kasih.
-Dn 💙

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

20 Years AgoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang