Sekarang Haikal mulai melucuti kemejanya, menyisakan kaus kutang hitam tanpa lengan yang melekat erat pada tubuhnya, mengikuti bentuk lekuk otot torsonya. Kaus tanpa lengan berwarna hitam itu juga membuat lengannya tampak kontras, membuatku sadar betapa kekar lengannya.
Akhirnya, Haikal melepas kaus kutangnya. Jantungku makin berdebar. Kaus kutangnya mulai tersingkap ke atas, perlahan-lahan mengekspos perut sixpack-nya, lalu dadanya yang bidang, hingga tersingkap semuanya. Pencahayaan yang bagus sore itu membuatku bisa melihat betapa mulus dan cerah kulitnya.
Aku menelan ludahku. Sesuatu di bawah perutku mulai meronta lagi. Lebih keras dibanding saat tadi aku merasakan punggung Haikal. Aku buru-buru mengeluarkan ujung bawah kemejaku untuk menutupi si kecil atau si Joni yang mulai mengembang.
Haikal sekarang melucuti celana panjangnya, menyisakan boxer putih. Dan-oh tidak-aku bisa melihat tonjolan yang menyembul di antara pahanya.
RIP si Joniku, batinku sambil memandang ke bawah perut. Ujung kemejaku yang sudah tertarik maksimal kutarik lebih kencang lagi untuk menutupi si Joni.
"Lu mau ikutan main air, nggak?" Tanya Haikal, kembali membuyarkan kebengonganku.
"Gua ngga bisa berenang." Dalihku.
"Ini nggak perlu kemampuan khusus untuk berenang, Di. Kedalamannya cuma sedada."
"Nggak, ah, gua takut. Gimana nanti kalau tiba-tiba ada arus besar?"
"Nggak bakal. Sekarang musim kemarau. Di hulu nggak ada hujan, jadi debit air stabil."
Aku terdiam, masih ragu untuk ikut. Aku ingin terus melihat Haikal, apalagi dia sangat tampan dan hot saat bertelanjang dada seperti ini. Tapi aku juga ingin menghentikan fantasi liarku yang semakin mengobrak-abrik tatanan pikiranku.
"Udah, ayo!" Tanpa permisi Haikal langsung menarik tanganku. Ia menoleh padaku sambil tersenyum tengil.
Plis jangan senyum kaya gitu! Lu terlalu hot kaya gini, Haikal! Batinku meronta.
"Lepas seragammu dulu!" Perintah Haikal.
Aku melucuti atasan lalu celana panjangku. Menyisakan kaus kutang putih berlengan dan celana boxer hitam.
"Nggak lu lepas juga kutangnya?" Tanya Haikal.
"Enggak, ah. Gua malu sama lu. Badan gua kaya lidi."
"Etdah! Santai aja kali!"
Aku tetap enggan membuka kaus kutangku. Alasan sejujurnya bukan karena malu, tapi untuk menutupi si Joni yang sewaktu-waktu bisa tergugah.
Setelah meletakkan seragamku di sebuah batu, Haikal menggandeng tanganku lalu menuntunku untuk memasuki sungai.
"Perhatiin batu buat pijakan lu. Hindari batu yang berlumut karena pasti licin."
Haikal terus membawaku menuju ke bagian tengah sungai. Makin lama makin dalam. Ketinggian air perlahan lahan mulai naik dan tiba-tiba saja sudah mencapai dada kami.
"Di, berenang itu sebenarnya kemampuan alamiah manusia. Di biologi lu tau, di kandungan ibu kita itu berenang di cairan ketuban. Tapi sejak kita keluar dari rahim, kemampuan itu melemah."
Aku tercenung. Kukira Haikal anak yang acuh tak acuh pada pelajaran di sekolah. Ternyata dia sangat memperhatikan, bahkan langsung dikaitkan dengan praktiknya di kehidupan nyata.
"Jadi sekarang, gua mau ajarin lu buat bisa berenang lagi. Kita mulai dari tahap nyelem."
Haikal mencontohkan caranya untuk menyelam. Dimulai dari menarik nafas, lalu menggembungkan pipi, dan akhirnya menenggelamkan diri di dalam air sambil menghembuskan nafas. Tangan kanannya teracung di udara, membuat gerakan menghitung dengan jarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buaian Tubuh Perkasa
DiversosDisclaimer: 18++, LGBT if this disturbs you, skip it! Kumpulan cerita individu-individu sesama jenis yang menyelami erotika tubuh atletis dalam pergumulan yang panas dan menantang.