Tidak ada yang spesial dalam hidup Lita sebelum akhirnya kuliah di Bandung, lalu bertemu lagi dengan Alfian, teman SD yang dulu pernah mencium pipinya di depan banyak orang. Alfian tumbuh menjadi pria berbeda, Lita tahu dari bagaimana Alfian menata...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku menghela napas panjang setelah membalas pesan Alfian. Jujur saja aku masih kesal ketika membayangkan ejekan teman-teman sekalas waktu itu. 'Benci jadi cinta nih, ye!' atau 'berawal dari teman, berubah jadi demen.' atau pun ejekan-ejekan lainnya sampai rumor aneh muncul entah dari mana. Rumor yang mengatakan bahwa aku berpacaran dengannya santer terdengar seantero sekolah. Kejadian itu mambuatku sampai tidak masuk seminggu.
Jadi, ketika Alfian menjadikan kejadian waktu itu bahan bercandaan-apalagi pada Dimas yang saat itu aku baru mengenalnya-aku sangat kecewa.
Kalau flashback ke masa lalu, ini bermula dari sarung yang Alfian pinjamkan padaku di taman komplek. Setelah dicuci dan diseterika, aku berniat mengembalikanya ke rumah Alfian. Namun, suara riuhan kerumunan orang membuatku mundur selangkah. Kulihat Pak Tedjo--ayah Alfian--kedua tangannya diborgol, lalu diringkus oleh polisi ke dalam mobil. Aku melihat Alfian dan ibunya menangis, lalu warga yang melihat makin menyorakinya.
Hatiku sangat sedih. Alfian memang menyebalkan, tetapi melihat ia menangis membuatku sebagai temannya merasa iba.
Setelah itu, aku tidak pernah lagi melihat batang hidung Alfian. Sampai suatu hari, wali kelasku mengumumkan bahwa Alfian akan pindah sekolah karena akan tinggal di Jakarta. Ia akan berpamitan keesokan harinya. Tepat di hari itu aku membawa sarung miliknya ke sekolah.
Tiga puluh menit menuju jam istirahat, Alfian datang ke kelas menggunakan pakaian bebas. Ia berjalan menunduk ke bawah, begitu tak percaya diri. Wali kelas menjelaskan kembali tentang kepindahannya, lalu sebelum pergi Alfian menyalami satu per satu teman untuk meminta maaf dan berpamitan. Tiba saatnya giliranku. Aku pun tak ingin menyia-nyiakan waktu untuk memberikannya sarung yang sudah kucuci bersih dan seterika rapih.
"Ini, makasih sarungnya, ya!"
"Kamu simpen aja. Barang-barangku sudah dibawa sama Paman kemarin. Ini aku mau langsung pergi."
"Tapi---"
"Makasih ya udah jadi teman yang baik. Padahal aku sering banget isengin kamu. Tetapi kamu harus tahu, karena hal itu aku jadi bersemangat dan rajin sekolah. Aku selalu membayangkan bisa terus ngerjain kamu sampai nanti lulus SMA dan kuliah. Tapi sayang .... belum lulus SD aja kita udah nggak bisa ketemu lagi."
"Memang udah nggak akan ke sini lagi?"
Dia menggeleng pelan, lalu berusaha tersenyum dan menghilangkan raut wajah kesedihannya. "Kamu hati-hati di sini, ya! Jangan terus-terusan sedih. Semoga suatu saat kita bisa ketemu dan main-main lagi."
Tiba-tiba saja satu kecupan mendarat di pipiku. Kedua mataku membulat kaget. Tubuhku mematung dan refleks menempelkan telapak tangan ke pipi. Teman sekelas lain yang terkejut juga bersorak-sorak menggoda kami. Sementara itu, kulihat wajah Alfian merah merona, tetapi ia masih bisa tersenyum, lalu kemudian berlari keluar kelas tanpa pernah kembali lagi.