53. Pegangan

587 73 16
                                    

.◜◡◝ ^••^

Anan mengikuti sosok gadis yang berjalan 10 meter jauhnya dari tempat ia berada kini. Mata yang lelaki tak lekang dari sosok dengan celana jeans panjang dan jaket bulu-bulu itu.

Kimi mendatangi pangkalan ojek yang kini ada sekitar 3 pengendara di sana. Setelah beberapa lama menunggu akhirnya Kimi naik dan diantar oleh pengendara yang rambutnya memutih.

Anan langsung kembali ke dalam mobil dan mengikuti Kimi dari jarak aman seperti sebelumnya. Yang laki-laki penasaran, perjalanan yang diambil oleh Kimi sepertinya tidak menuju kemana pun.

Tidak menuju rumah Dwi.

Tidak menuju rumah Bening ataupun teman-temannya yang lain.

"Terimakasih, Pak!" Hatur Kimi kemudian turun disebuah gang yang disebelahnya nampak gapura tinggi bertuliskan huruf hijaiah.

Mata Kimi menoleh pada penjual bunga dan membeli sekantung sebelum masuk dan salam.

Sebuah etiket wajib sebelum memasuki tempat perstirahatan terakhir manusia yang disebut pemakaman.

Kaki Kimi terus berjalan menuju tempat pengambilan air dan mengambil teko yang disediakan sebelum mengisinya.

Tidak lupa ia pun menyisipkan selembar uang ke kotak amal yang ada di dekat tandon air sebelum berjalan menuju tujuan awalnya memasuki kawasan yang hamparannya hijau dengan batu hitam bersusun.

"Assalamualaikum, Yai? Uti?"

Tentu saja tidak ada jawaban dari salam tersebut. Kimi mulai menarik ingusnya yang hampir keluar karena rasa rindu kemudian menadahkan tangannya dan mulai berdoa. Tidak jauh dari posisi Kimi berada, Anan mengamati kegiatan Kimi yang tengah khusyu berdoa. Anan yang tengah mengamati itu tanpa sadar berjalan mendekat dan duduk di bawah pohon yang sepertinya familiar. Benar saja itu merupakan makam Ibunya. Melihat Kimi yang nampaknya masih menadahkan tangan, Anan pun mulai melakukan hal yang sama di depan makam ibunya yaitu berdoa.

"Uti! Kenapa ya mama ga pernah bisa sayang ke Kimi?" Tanya Kimi setelah menyelesaikan doanya. Tidak lama ia terisak dan menangis. Ia mengeluarkan perasaan yang sedari tadi ia tahan saat di perjalanan menuju ke sini.

"Padahal Kimi sayang dan nurut apa bilangnya Mama. Kenapa Mama malah minta yang aneh-aneh?"

"Kimi ga pernah nakal. Papa juga selalu bilang Kimi anak pinter. Ibu selalu bilang Kimi anak baik, rajin, tapi kenapa mama ga bisa kek Ibu atau Papa?" Kembali ia terisak dengan ujung bibir yang melengkung kebawah dan tangan yang sibuk mengelap wajah juga matanya dengan sapu tangan kecil berbahan handuk.

"Kimi juga mau mama tulus sayang ke Kimi. Sekarang Kimi musti gimana?" Tanya Kimi masih memandang batu nisan hitam bertuliskan tinta emas itu.

"Kimi takut pulang, pasti Papa marah karena Kimi ngilang ga pamit."

"Kimi juga ga mau ikut mama, Kimi takut."

Awan yang memenuhi langit siang itu seakan tau isi hati gadis yang kini masih terisak dan mengutarakan keluh kesahnya. Anan selesai mengirim doa khusus untuk ibunya, kini mencoba untuk tetap tenang dan tidak gegabah karena Kimi kini masih terisak.

Hingga beberapa saat kini Kimi tak lagi bersuara dan yang masih duduk itu mencoba memeriksa. Tak disangka pandangan Anan bertemu dengan Kimi yang kini mulai berjalan kembali.

Anan tidak menunjukkan ekspresi apapun kecuali senyuman hangat yang ia usahakan untuk membuat Kimi nyaman.

Melihat Anan tersenyum seperti itu tentu saja Kimi balik tersenyum kemudian mendatanginya.

24.3 Jenselle AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang