✮PROLOG✮

260 20 8
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✮⋅˚₊‧ ୨୧ ‧₊˚ ⋅✮

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✮⋅˚₊‧ ୨୧ ‧₊˚ ⋅✮

Angin-angin kencang melayari Senin pagi ini. Tidak ada peradaban yang panas, bumi mempersilakan dingin menemani pertempuran manusia hari ini dengan kehidupan kerasnya masing-masing. Dalam situasi ini, terkadang aku berpikir bahwa hujan sedang berbelas kasih jauh lebih cepat, hujan mungkin ingin menemani tangisan yang kembali jatuh di perjalanan panjang- tangis yang belum usai meski sudah semalaman mereka membiarkan kesedihan itu tumpah ruah. Tangisan yang begitu melelahkan, sebab dari sekian banyak pilihan, mereka memilih untuk kembali bertempur dengan hal-hal melelahkan sebelum kembali pulang membawa kesedihan. Dan mereka adalah jiwa-jiwa yang sedang putus asa.

Lalu seperti biasa, aku hanya bisa mendoakan mereka. Semoga mereka memiliki keajaiban-keajaiban kecil yang bisa digenggam dan tetap melanjutkan hidup. Mereka tidak boleh sia-sia begitu saja.

Aku duduk di samping jendela ruang kerjaku, sembari menyesap secangkir kopi hangat dan memperhatikan segerombolan siswa-siswi yang berlarian— berkejaran dengan jam Upacara. Diantara angin dan gemericik air, mungkin hanya mereka yang melihat seulas senyumku. Ku biarkan ingatan itu kembali jatuh, selayaknya daun kemuning yang mulai lepas satu persatu. Jatuh untuk kemudian lebur bersama tanahnya. Seakan-akan ia tak pernah ada. Hilang begitu saja.

Sekiranya begitulah keadaanku. Ingatan itu kian meleburkan diriku, semakin jauh dan sedikit menyakitkan. Sebab, jarak begitu membentang serta realita dan ekspektasi yang bertolak belakang. Mereka bersama-sama menyerangku yang sudah tidak berdaya. Karena pada akhirnya, hidup ini ku biarkan terombang-ambing, selayaknya kapal di tengah lautan lepas. Aku hanya bisa pasrah dan enggan menerka apa yang akan terjadi setelahnya.

Bersama dengan secangkir kopi yang ku letakan di samping laptop, aku membiarkan pikiranku tidak berlarut-larut— memberi atensi penuh kepada frasa-frasa indah yang perlu aku sunting untuk penerbitan. Sialnya, aku menyunting naskah-naskah milik kekasihku. Arjemi Nathan Sangkara, seorang penulis tampan yang sedang naik daun 3 tahun belakangan ini.

Penulis yang digandrungi wanita-wanita penikmat sajak. Bahkan, aku sering membaca komentar di sosial media, bagaimana seorang Arjemi begitu dipuja-puja. Menawarkan cinta secara cuma-cuma, bahkan mereka mendambakan Jemi dengan mencoba menyingkirkan keberadaanku lewat kata-kata. Katanya, putuskan saja pacarmu, ayok berkencan denganku.

Metafora Fana Dari ArjemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang