01'Prolog

1.5K 34 0
                                    

Sebuah cahaya yang terasa menyilaukan seolah menusuk indra pengelihatan milik seorang wanita yang saat itu sedang terbaring di atas kasur king size yang terasa lembut. Matanya mulai mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya mencoba untuk membuka matanya yang terasa berat. Mata wanita itu mulai terbuka perlahan, rasa berat pada matanya kini tergantikan oleh rasa pusing yang segera merayap memenuhi kepalanya, terasa seperti sedang ditusuk oleh ratusan jarum.

"Akh." Wanita itu terdengar mengaduh kesakitan. Tangannya yang kurus dengan segera memegangi kepalanya, terutama saat sinar silau yang berasal dari lampu yang tergantung pada plafon kamar, seolah menusuk pengelihatannya.

Wanita itu mencoba untuk meredakan rasa pusing yang menyerangnya, lalu dia kembali mulai membuka pandangannya. Tatapan wanita itu menengadah ke seluruh penjuru kamar dengan nuansa putih tulang yang terasa klasik tersebut. Wanita itu merasa asing dengan kamar itu. Ini bukanlah kamar miliknya, dia sama sekali tidak mengenal kamar mewah dan luas tersebut. Perempuan itu mulai bergerak mendudukkan tubuhnya.

"Sudah bangun, Emma?" Sebuah suara bariton kemudian mulai terdengar memenuhi ruangan hampa tersebut.

Wanita yang dipanggil Emma itu lantas menoleh pada sumber suara, terkejut karena merasa masih belum sadar benar dan kini ada suara berat milik seorang laki-laki yang memanggil namanya. Disana, Emma kini dapat melihat seoarang laki-laki dengan baju tidur berwarna putih yang terbuat dari kain satin yang mengkilap pada tubuh laki-laki tersebut. Laki-laki itu bersuara namun sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari beberapa berkas yang sedang dia kerjaan di atas meja. Emma terdiam memandangi laki-laki itu dengan mata yang menyipit hendak mengingat apa yang kiranya terjadi padanya saat ini. Semuanya terasa aneh, dia tidak mengenal siapa laki-laki dihadapannya itu, lalu dia juga tidak mengenali kamar ini.

Merasa kebingungan, hingga Emma tidak dapat merespon apapun.

Lama merasa Emma tidak menanggapi ucapannya. Laki-laki dengan baju tidur tersebut akhirnya mengangkat pandangannya lalu menatap Emma dengan tatapan teduh miliknya, hingga Emma kini dapat dengan jelas melihat wajah laki-laki itu.

"Kau sudah tidur lebih dari dua belas jam," ujar laki-laki itu masih dengan nada tenang namun suaranya tetap saja terdengar berat sehingga menciptakan atmosfer yang terasa berbeda bagi Emma. Tentu saja, siapapun wanita akan merasakan hal yang sama jika di tempatkan di sebuah ruangan hanya berdua dengan seorang laki-laki yang bahkan tidak dikenal.

"S-siapa anda?" Emma akhirnya mulai membuka suara, suara perempuan itu sempat kelu dan tidak terdengar karena tenggorokannya yang terasa kering, entah sudah berapa jam dia tidak minum air.

Laki-laki itu terlihat tidak bergeming sama sekali, dia memperhatikan Emma dengan matanya yang tidak menatap langsung pada mata Emma, pandangan laki-laki itu turun. Emma yang penasaran kemana arah pandang laki-laki itu hanya mampu terdiam. Efek baru terbangun dengan kepala yang terasa hampir pecah sempat membuat Emma merasa seperti belum sepenuhnya sadar saat ini.

"Naikkan selimut mu," ujar laki-laki itu, lalu menunjuk ke arah dada Emma dengan sebuah pena di tangannya.

Emma merasa bingung, namun, dia akhirnya tetap memperhatikan pada hal yang baru saja ditunjuk oleh laki-laki tersebut. Pandangan mata milik Emma perlahan mulai turun pada dadanya sendiri. Sepersekian detik setelah itu, perempuan itu merasa bahwa bola matanya mungkin akan segera keluar dari kepalanya karena merasa amat terkejut dengan kondisi tubuhnya yang benar-benar tidak ditutupi oleh sehelai benang pun.

"AAAKKKHHHH!" pekik Emma seraya berusaha dengan sekuat tenaga untuk segera menarik selimut guna kembali menutupi payudaranya dari pandangan laki-laki di hadapannya itu. Tarikan panik Emma pada selimut tersebut, ternyata membuat selimut yang awalnya menutupi sebagian besar tubuh bagian bawah milik Emma itu, secara tidak sengaja tertarik ke atas dan menampakkan sebagian besar bagian paha milik Emma. Tentu saja, hal itu kembali membuat Emma merasa semakin panik.

"Apa-apaan ini?!" teriak Emma, masih berusaha gusar menutupi sebagian tubuhnya yang kini baru terasa tidak nyaman karena sama sekali tidak mengenakan sehelai benang pun selain sebuah selimut tebal itu.

"Tidak perlu sampai seperti itu Emma, saya juga sudah lihat semuanya." Laki-laki itu berucap seolah apa yang baru saja dia katakan adalah hal yang wajar. Dia kembali fokus pada beberapa kertas di hadapannya, tak lagi menghiraukan Emma.

Emma yang dadanya masih naik turun akibat mencoba menarik nafas beratnya yang terasa sesak itu, kini mulai berani untuk menatap kembali pada laki-laki itu. Apa maksudnya dengan sudah melihat semua? Siapa sebenarnya laki-laki ini dan hal kurang ajar apa yang berani membuatnya membual hal bodoh.

"Apa mau mu, dimana saya sekarang? saya mau pulang!" Emma berteriak, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya saat itu, kepalanya terasa semakin berat tatkala dia mencoba mengingat apa yang mungkin terjadi padanya sebelumnya, karena dia tidak mungkin tiba-tiba berakhir di kamar ini tanpa sebab.

"Kamu sudah di rumah." Suara berat laki-laki itu kembali terdengar, kali ini pandangannya mulai terarah kembali pada Emma.

Emma mengerutkan keningnya, perempuan itu benar-benar ingin sekali marah, namun entah mengapa bibirnya sama sekali tidak dapat mengatakan segala benang kusut pada kepalanya.

"Apa-apaan? Keluar! Saya mau pakai baju. Kita harus bicara lagi nanti!" Emma beranjak dari tidurnya, perempuan itu berdiri dengan sedikit kesusahan akibat tangannya yang masih memegang dengan erat selimut yang menutupi bagian tubunnya itu.

Laki-laki itu mengangkat pandangannya mengikuti Emma yang kini berdiri tak jauh darinya, perempuan itu terlihat sibuk mencari pakaian miliknya, membuat laki-laki itu tertarik untuk mendekati perempuan itu.

"Hey! Jangan mendekat, laki-laki brengsek!" Emma dengan segera mundur saat melihat laki-laki yang tidak dia kenali itu mulai mendekatinya.

"Nama saya Damian, Damian Carter, bukan laki-laki brengsek dan jangan panggil saya seperti itu lagi," koreksi Damian, laki-laki itu sama sekali tidak menghentikan langkahnya hingga membuat Emma yang mundur kini terhimpit pada tembok dan tubuh Damian.

Damian mendekatkan kepalanya ke arah Emma, hingga kepala Damian kini berada tepat di sebelah telinga Emma, "bicaralah dengan sopan pada saya, Emma. Saya bayar sangat mahal untuk dirimu." Damian membisikkan sesuatu tepat pada telinga Emma, membuat darah Emma seolah berdesir hebat karena merinding merasakan deru nafas hangat yang tenang terterpa pada leher telanjangnya.

"Kamu milik saya sekarang, karena saya sudah membeli mu dari ayah mu." Damian akhirnya kembali menjauhkan bibirnya dari telinga Emma, laki-laki itu lalu menatap Emma dengan tatapan dinginnya, mencoba menikmati wajah kebingungan milik Emma.

To be continued...

Bayi Laki-laki Bagi Sang Miliuner!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang