Jaden tersesat.
Pemuda itu linglung melihat dirinya sendiri tengah tertawa bersama keluarganya.
Kue putih dengan hiasan sederhana. Buket bunga yang didekap Bunda. Ia yang dijahili Ayah dan mengadu pada omanya.
Tapi, kenapa ia berdiri disini. Menyaksikan keharmonisan keluarganya sendiri.
Sedetik kemudian bibir itu menguarkan tawa pedih. Yang berada ditengah mereka bukan dirinya. Itu hanya ilusi. Harapan Jaden ketika semua rasa sakit menggerayangi tubuhnya yang telah mati rasa.
"Bun-da."
"Mommy disini, sayang."
Jaden tersentak. Ia mendongak dan mendapati dirinya yang lain menatap padanya. Tersenyum manis, tapi mata tak bisa berbohong. Ada rasa tak rela. Hingga gerakan mulut itu membuatnya mengeryitkan dahi tak mengerti.
"Kamu harus pulang."
Mata Jaden terpejam. Setetes air mata menyambangi pipinya. Disusul usapan lembut yang hangat. Hingga tangan itu pergi dari wajahnya, Jaden merasa kehilangan.
Remaja tanggung itu merasa frustasi. Ia hanyalah seorang anak yang terbiasa dimanja keluarganya. Hidup sehat dan dikelilingi banyak orang.
Ia benci rasa sakit yang kini menyerang dadanya.
Jaden benci gelap. Ia merasa sendirian dan hilang arah.
"Detak jantung kembali stabil. Pasien berhasil selamat!"
Segaris mata Jaden terbuka. Ia bisa mendegar keributan dan suara alat pendeteksi ritme jantung. Teriakan, tangis, dan suara senapan?
Telinganya berdenging hebat saat suara tembakan terdengar. Ia memejam takut. Lalu saat sebuah sapuan lembut pada rambutnya terasa, Jaden kembali membuka matanya dengan nafas memburu.
Seorang lelaki yang ia yakini seumuran ayahnya memenuhi pandangannya. Bibir itu bergerak, tapi Jaden tak bisa mendengar apapun. Ia juga tak mengenal pria itu.
Dalam kebingungan dan rasa takut, Jaden kembali memejamkan mata. Terakhir kali, ia ingat tubuhnya tergeletak tak berdaya di aspal berbau anyir.
Bukannya melihat kedua orang tuanya saat sadar, ia malah mendapati situasi menegangkan yang membuat mentalnya terguncang.
Merasa syok, Jaden jadi teringat akan ayahnya. Ia akan selalu merasa aman saat bersama lelaki itu. Hingga ia kembali tak sadarkan diri.
****
Sudah hampir setengah jam Jaden rasa ia membuka mata dan tak mendapati seorangpun dalam ruangan itu.
Rasanya ada yang aneh. Ia merasa sesak dan beberapa kali dadanya terasa sakit. Ini bukan luka akibat kecelakaan.
Jaden bisa menggerakkan kedua tangan dan kaki kirinya. Tapi tidak dengan yang kanan. Mungkin kakinya patah karena tertindih badan motor. Dan ini terasa masuk akal dibanding dengan rasa sakit pada dadanya.
Berusaha duduk, remaja itu kembali dibuat kaget dengan tangan dan kakinya yang terlihat lebih pendek. Dan bagaimana kulitnya bisa seputih ini seolah tak pernah terkena sinar matahari.
Menghiraukan itu, ia menyingkirkan masker oksigen dari wajahnya walau sesak masih menggerogoti.
Krieeett
Jaden tersenyum cerah saat suara pintu akan terbuka. Itu pasti Bundanya. Baru saja mulutnya terbuka ingin memanggil, sosok asing membuat binar mata dan senyumnya redup seketika.
"Jaden?!"
Sosok lelaki jangkung itu terlihat terkejut melihatnya. Pemuda itu berjalan cepat mendekati ranjangnya dan membuka lebar tangannya. Sampai Jaden menghindar, senyum haru itu menghilang tergantikan raut kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
JADEN
Teen FictionJaden Camren bahagia. Keluarga cemara, teman, dan hidup sebagai remaja SMA normal, ia memiliki segalanya. Hingga semua hilang dalam kedipan mata. "Gue gak punya kembaran!" Ujar Jaden membantah. "Sebenci itu kamu sama kakak?" Kata lelaki itu menatap...