Epilog

20 1 0
                                    

AKU tidak tahu ada perasaan lain yang ada di luar rasa sakit, terlalu dalam untuk diberi nama. Aku tidak tahu dunia bisa cepat desaturasi. Masih dan tidak berwarna, seperti tidak ada apa-apa di luar kepalaku yang sebenarnya ada.

Aku melihat ke sekeliling, bingung mengapa orang-orang masih berjalan lewat, lampu lalu lintas masih menyala hijau, Restoran Dua Paus masih bergulir, dan tidak pernah ditutup.

Aku ingin bertanya, "Apakah mereka tidak tahu bahwa dunia baru saja berakhir? Apakah aku satu-satunya yang merasakannya?"

Aku marah waktu itu berjalan di luar ruangan. Aku marah bahwa dunia terus berlanjut ketika aku berdiri begitu menyakitkan diam, dan hanya aku yang merasakan pukulannya.

Sebanyak yang aku harap hari biasa, aku pulang tanpa warna, tanpa suara, tetapi dengan kesedihan yang berkepanjangan di dekat pintu.

Setiap hari, aku akan membukanya—kadang pintu, kadang kesedihan. Hidup akan terus berjalan, karena aku akan mencoba untuk berduka dengan tanggung jawab. Terus dan terus dan terus. Aku akan berduka dengan tanggung jawab.

Aku merindukan dia.

Aku merindukan bagian diriku saat masih bersamanya.

Tahun-tahun telah berlalu dan aku merasa semua itu hanyalah mimpi.

Bagaimana jika dia tidak pernah kembali?

Kurasa aku hanya akan hidup dengan hantunya saja.

Kenangan itu abadi hanya dalam memoriku...

Setelah lulus dari Blackwell, aku tidak pergi dari Arcadia Bay. Aku bekerja di Two Whales Diner bersama Joyce dan menyewa rumah kontrakan kecil. Warren melanjutkan studinya di Portland, meski begitu setiap akhir pekan dia selalu mengunjungiku. Kate bekerja di salah satu penerbitan di Seattle dan Victoria meneruskan warisan keluarganya, "Chase Space".

Aku masih sama, mengambil foto-foto kecil dari kamera polaroidku pada apa pun yang menarik perhatian mata hipsterku.

Pagi ini hujan turun cukup deras. Suasana menjadi sendu dan aku sedikit mengingat masa lalu. Aku turun dari kasurku lalu memutuskan untuk mandi air hangat. Masih beberapa hari lagi sampai Warren datang ke kota dan kami akan menonton film di Drive-in, tapi hari ini aku libur, jadi aku memiliki kesempatan untuk mengambil gambar di sekitar kota setelah hujan reda.

Ada sebuah tempat di mana aku selalu ingin pergi, tapi aku tidak pernah memiliki keberanian untuk ke sana, belum lagi...

Memikirkannya hanya akan membuat hatiku hancur karena setelah beberapa kali aku pergi ke sana... dia tidak ada.

Kesepian dan kekosongan selama beberapa minggu awal membuatku hampir gila. Aku berpikir untuk mengunjungi rumahnya, tapi tidak ada siapa pun di sana. Pada akhirnya aku berhenti mencoba dan tidak melakukan apa pun.

Dunia bergerak seolah itu tidak pernah berhenti. Pada kasusku, aku diseret untuk ikut bergerak juga. Aku menolak bujukan orang tuaku yang memohon agar aku pulang ke Seattle dan mereka mengatakan, "Tidak ada apa-apa di Arcadia, dia tidak akan kembali."

Aku tahu.

Aku hanya tidak bisa pergi lagi. Ini adalah janjiku, pada Chloe, pada Nathan.

Jadi, setelah hujan reda pada pukul sepuluh, aku naik bus menuju pantai.

Awan kelabu hampir menyentuh ombak hitam di laut. Aku menghirup udara dingin di sana, meresapi setiap belaiannya yang membawa kenangan lama kembali dalam memoriku.

Aku bisa saja kembali... menggunakan foto itu, fotoku dan Nathan saat itu, tetapi aku tidak melakukannya dan lebih memilih menerima konsekuensiku. Nyatanya, rasa sakit yang kuterima melebihi ekspektasiku. Maksudku, bagaimana bisa kau mencintai seseorang yang bahkan tidak mengingatmu? Itu sakit sekali. Aku tahu Warren baik padaku dan berusaha membujukku, tetapi aku bahkan tidak bisa membuka hati. Itu kebas dan hidupku tidak berwarna lagi. Seperti gaya foto-foto Nathan.

Sebuah cipratan di air menandakan sesuatu yang akan datang. Aku berlari mendekati bibir pantai dan menangkap pergerakan paus yang melompat di udara. Senyumanku tercetak lebar. Rasanya puas sekali menangkap momen yang bisa hanya sekali terjadi.

Kemudian aku tahu aku tidak sendiri, aku membalikkan tubuhku.

Dia ada di sana.

Sebelah tangannya menggenggam kamera, sebelahnya lagi menggenggam sebuah foto.

Dia baik-baik saja. Masih mengenakan jaket merahnya, rambut cokelatnya disisir rapi. Ada cekungan hitam di bawah matanya, tetapi itu tidak apa-apa, tidak terlalu buruk dan terlihat seperti zombie. Dia baik-baik saja, dia baik-baik saja.

Sebelum aku bangun dari pikiranku yang masih bertanya-tanya apakah dia nyata atau aku hanya berhalunasi... dia memeluk tubuhku, erat dan hangat... seperti tahun-tahun yang berlalu tidak pernah terjadi, seperti dia selalu memelukku sebelumnya.

Mungkin aku telah bertransportasi ke realitas lain lagi karena dari matanya aku tahu, dia mengenaliku. Aku berharap begitu. Aku merengkuh rahang dan dagunya, sedikit ketakutan barangkali dia menolak dan mendorongku mundur, tetapi dia tidak melakukannya dan malah memejamkan matanya menikmati sentuhanku.

"Bagaimana..."

"Kamu tidak akan percaya," katanya.

Nathan tidak mengatakan apa pun lagi. Dia menggenggam tanganku dan kami berjalan menyusuri pantai hingga matahari terbenam.

—END—

After The Storm (Life is Strange)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang