Anzilla mematut dirinya di depan cermin, kaftan sutra mewah berwarna soft pink dengan aksen emas di bebarapa sisinya tampak membalut tubuhnya dengan pas. Hijab panjang pun sudah tampak menutupi kepala hingga ke bawah. Dengan senyum tersungging dia pun mengenakan nikob seperti saran Halima. Ya, pelan tapi pasti, Anzilla sudah mulai merubah penampilannya agar sesuai peraturan di kerajaan yang menganjurkan para istri-istri khalifah untuk mengenakan cadar. Tujuannya agar tidak semua orang bisa menikmati kecantikannya.
"Yang Mulia, tandu dan semua iring-iringan kerajaan sudah siap untuk berangkat ke acara bazar tahunan dan lomba melukis."
Suara Halima membuat Anzilla reflek memutar tubuhnya. "Baik, aku sudah siap," jawab Anzilla.
Halima terpaku kala melihat penampilan permaisuri hari ini. Wanita itu pun tersenyum. "Akhirnya Anda memutuskan untuk memakai cadar, Yang Mulia?" Halima terdengar antusias.
"Seperti katamu, kan? Bahwa aku hanya milik khalifah, jadi tak ada satu orang pun yang berhak menikmati kecantikanku kecuali dia, suamiku."
Halima pun mengangguk senang. Lalu keduanya langsung menuju ke luar istana. Di mana iring-iringan yang akan membawa khalifah dan beberapa istrinya ke acara bazar tahunan sudah siap di tempatnya. Ada beberapa tandu yang akan diisi olehnya dan istri-istri khalifah yang lain. Prajurit pun berjajar rapi di semua sisi khalifah dan keluarga istana.
Anzilla tersenyum kala khalifah datang tak lama setelahnya. Dengan antusias dia melambai ke arah khalifah. Tak ayal tingkahnya mengundang perhatian semua orang karena hal seperti itu tak pernah terjadi. Halima yang menyadari tatapan aneh semua orang akhirnya menegur Anzilla. "Yang Mulia, Anda tak boleh bertingkah seperti itu," ujar Halima mengingatkan. Anzilla hanya berdecak kesal, Namun, tak urung mengikuti teguran Halima dan menurunkan tangannya.
"Kau sudah siap, Permaisuriku?" tanya khalifah begitu dia sudah berada di depan istrinya.
"Sudah, Yang Mulia, sekali lagi terima kasih karena sudah mewujudkan permintaanku," ucap Anzilla tulus. Senyum bahagia tersungging di bibirnya sepanjang matanya dan mata khalifah saling beradu.
Anzilla masih tak menyangka khalifah bersedia mengabulkan permintaanya untuk mengadakan lomba melukis bagi seluruh rakyat dan budak di negeri ini, dan hari ini adalah acara lanjutan di mana hasil lukisan pemenang akan di pamerkan di bazar. Walaupun untuk semua hal tersebut dia harus rela menemani khalifah di istanya malam itu. Tak perlu dijelaskan apa yang sudah terjadi, karena Anzilla akhirnya benar-benar menyerah pada pesona khalifah dan kelembutan sikapnya. Bahkan wanita itu masih sering tersipu, kala mengingat moment yang dia lewati bersama khalifah malam itu. Padahal sudah hampir satu minggu lebih berlalu.
"Aku justru senang karena usulmu ini, kita bisa mendekatkan semua kalangan. Baik itu bangsawan atau rakyat biasa, bahkan budak."
Ada jeda sejenak, khalifah mengamati penampilan istrinya yang tampak berbeda hari ini. "Kau cantik sekali memakai cadar seperti ini, Istriku."
Pujian khalifah membuat Anzilla tersenyum di balik cadarnya. "Terima kasih, Yang Mulia," jawabnya kemudian.
"Tapi... apa kau yakin tak merasa panas? Seperti perkataanmu tempo hari?" Khalifah memastikan, dia khawatir istrinya masih merasa bermasalah dengan baju kerajaan seperti beberapa bulan terakhir. Sedang khalifah hanya tak ingin membuat Zubaidah merasa terkekang. Dia ingin istrinya menyadari secara pelan-pelan dan bukan dengan paksaan.
"Tidak, Yang Mulia, saya sengaja memakai ini agar mulai merasa terbiasa."
Jawaban Anzilla hanya ditanggapi khalifah dengan anggukan paham. "Kalau begitu masuklah ke tandu mu, dan kita berangkat," ujar khalifah, kemudian sambil mengusap kepala istrinya sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anzilla dan Sang Khalifah
Ficción históricaAnzilla Jhonson, wanita Amerika keturunan Yahudi yang begitu benci dengan islam karena cerita turun-temurun di keluarganya. Dia sengaja berkuliah di University Of Bagdad untuk membuktikan kebenaran tentang sejarah buruk kekhalifahan islam termasuk H...