Bab 1
Bertatap muka dengan banyak orang seperti yang akan kulakukan seperti hari ini selalu saja membuatku sangat gugup. Aku sudah berkeringat dingin dan punggungku tegang. Bagaimana kalau nanti aku melakukan kesalahan? Bagaimana kalau nanti....
“Moa!” Bang Maha, kakak sepupuku yang tampan dan bertubuh kekar menepuk-tepuk tanganku. Dia tersenyum lebar menatapku. “Sini tanganmu.” Dia mengangkat tanganku kemudian menulis di telapakku dengan telunjuknya. “Dengar ya Moa, supaya gugup kamu hilang, tulis kata ‘orang’ terus....”
“Terus?” Aku menatap tanganku dengan serius, menunggu lanjutan kata-kata Bang Maha. Sepertinya Kak Bita dan Kak Bian juga.
“Terus kamu jilat dan telan,” lanjut Bang Maha sambil cengar-cengir membuat kami melongo dan Kak Bian langsung memukul kepala Bang Maha dengan gulungan kertas yang dipegangnya.
“Bego!”
“Lo yang bego!” Bang Maha mengusap kepalanya sambil memelotot kepada Kak Bian. Lalu ia menoleh kepadaku. “Beneran kok, coba aja jilat telapak tangan yang udah Abang tulis tadi, Moa, pasti gugup kamu langsung hilang!”
Namun, aku enggan melakukannya, begitu pun Kak Bita yang menggeleng-geleng sambil tersenyum.
Kak Bita menggenggam tanganku. “Kita pasti bisa, Moa.”
Aku mengangguk tersenyum. Namun sejujurnya jantungku masih belum bisa diajak berkompromi.
“Sudah kalian tenang saja, kan ada aku.” Mbak Rein, editor kami, menepuk dadanya sendiri. “Ayo kita baca doa dulu sebelum acara dimulai.”
Setelah berdoa, aku tersenyum kepada Kak Bita. “Alhamdulillah masalah Kak Bita akhirnya selesai. Aku ikut senang, Kak.”
Kak Bita memelukku dari samping. “Makasih, Moa. Berkat doa kamu dan yang lain.”
Selama beberapa bulan terakhir, Kak Bita dihadapkan dengan berbagai macam teror dari mantan kekasihnya. Tetapi syukurlah semuanya dapat terselesaikan berkat bantuan Kak Bian dan teman-temannya, juga Bang Maha.
“Moa, jangan melamun. Ayo.” Mbak Rein menepuk tanganku pelan.
Ketika kami memasuki ruangan luas yang merupakan bagian dari sebuah toko buku besar dan ternama, aku makin berkeringat dingin. Terlebih saat melihat banyaknya para tamu undangan—pembaca karya kami—yang hadir. Aku memejam sejenak mencoba membuat diriku rileks. Atau haruskah aku melakukan ajaran Bang Maha tadi? Ah tidak, itu jelas ngawur.
Sementara Kak Bita berdiri dan menjelaskan latar belakang pembuatan novel kami, aku duduk di kursi roda menyimak dengan baik, begitu pun para tamu undangan yang hadir. Kak Bita masih tampak gugup, tetapi ketika tatapannya bertemu Kak Bian, perlahan Kak Bita mulai terlihat santai. Itu membuatku tersenyum lega.
Acara selanjutnya adalah sesi tanya jawab dari para tamu undangan, yang ternyata ada beberapa penulis yang turut hadir seperti Mbak Ghee, Mbak Booboo, dan Mas Arjuna Pamungkas membuatku terkejut sekaligus terharu. Rupanya mereka sengaja datang untuk bertemu dengan aku dan Kak Bita.
Tak hanya itu, teman-teman Kak Bian juga datang ke sini. Ada Kak Panji yang juga sekaligus sepupu Kak Bian. Ada Kak Gio yang bekerja sebagai polisi. Ada Kak Kevin yang tingkah konyolnya mengingatkanku pada Bang Aji, sahabat Bang Maha. Lalu ada Agnes yang merupakan adik Kak Bian, juga Kiara istri Kak Panji. Selain itu ada juga Radhika, adik Kak Bita.
Semuanya datang beramai-ramai dengan ekspresi antusias. Tentu saja untuk menyemangati Kak Bita. Namun mereka juga sangat baik dan ramah kepadaku. Terlebih adik dan istri dari sepupu Kak Bian ternyata juga merupakan pembacaku. Aku merasa sangat senang dan lega. Diam-diam ikut bersyukur karena Kak Bita sekarang dikelilingi orang-orang yang membawa energi positif. Aku bahkan ikut tertular energi itu.
Sementara dari pihakku hanya Bang Maha yang datang karena seperti biasa, orang tuaku sangat sibuk. Ayahku ada dinas ke luar kota, sementara ibuku mendapatkan banyak pesanan dari pelanggan toko roti beliau. Namun bukannya mereka tidak menyayangiku. Mereka selalu bangga kepadaku. Sebenarnya mantan istri dari almarhum Bang Ferdi—kakak Bang Maha—juga ingin datang, tapi hari ini ada rapat orang tua murid di sekolah Cakka, anaknya.
Pada sesi tanya jawab, aku benar-benar dibuat terharu dan menangis karena sekarang aku bisa bertemu dan mengobrol langsung dengan para pembaca karyaku, bukan hanya saling berkomentar di media sosial ataupun aplikasi baca tempatku biasa menuangkan ide-ide cerita. Ada beberapa pembaca yang malah meluapkan rasa bahagianya karena bisa berjumpa langsung denganku dan Kak Bita, bahkan mereka sampai menangis.
Tentu saja, hal itu membuatku dan Kak Bita makin bersemangat untuk menghasilkan karya-karya baru yang mampu menghibur banyak orang dari berbagai kalangan dan umur.
“Aku udah lama kagum sama karya-karya Kak Moa dan sekarang... rasanya aku pengen banget peluk Kak Moa. Boleh?”
“Tulisan Kak Bita tuh bikin aku semangat nulis juga. Karena tulisan Kak Bita, aku mulai belajar nulis.”
“Semua karya Kak Moa bikin kami, khususnya aku, baper parah. Kalau boleh tau, apa resepnya, Kak?”
“Kalau lagi buntu nulis, biasanya Kak Moa dan Kak Bita ngapain supaya lancar lagi idenya?”
Sebenarnya masih banyak tamu undangan yang ingin bertanya atau sekadar menyampaikan isi hati mereka tentang karya-karya kami, tetapi pembawa acara terpaksa menutupnya mengingat waktu yang terbatas.
Usai acara pembagian doorprize berupa buku novel karya kami dan pernak-pernik untuk para tamu undangan yang telah mengajukan pertanyaan, tibalah sesi tanda tangan dan foto bersama.
Syukur alhamdulillah hari ini kondisi tubuhku sedang fit jadi aku bisa membubuhi tanda tangan langsung pada buku novel yang dibeli para pembaca pada acara bedah buku kali ini ataupun buku-buku lamaku yang mereka bawa jauh-jauh dari rumah.
“Makasih banyak ya Kak Moa, aku makin ngefans sama Kakak.”
“Kak Moa sehat-sehat terus, ya!”
“Kak Moa suka kue apa nanti aku kirimin!”
“Aku boleh tau di mana rumah Kak Moa? Pengen mampir!”
“Tokoh-tokoh laki-laki di novel Kak Moa ada aslinya nggak sih? Kalau ada, aku mau satu, dong!”
Komentar-komentar mereka sungguh menghibur hatiku. Dan sepertinya aku takkan pernah melupakan acara ini untuk seumur hidupku. Akan menjadi kenangan yang sangat indah.
"Akhirnya kelar juga!” seru Bang Maha dari jauh. Dia dan Kak Bian tengah berjalan memasuki ruangan yang sudah hampir kosong karena acara telah selesai. Kedua tangan mereka memegang minuman yang sepertinya untukku dan Kak Bita.
“Makasih, Abang,” ucapku dengan senyum kepada Bang Maha yang memberiku segelas jus jambu tanpa es. Sementara Kak Bita menerima es jeruk dari Kak Bian.
Tiba-tiba pintu kaca ganda terbuka, dan seorang lelaki memasuki ruangan. Napasnya yang memburu terdengar keras di ruangan yang nyaris kosong ini.
“Maaf, saya datang terlambat karena baru sampai dari stasiun. Kata panitia saya masih boleh minta tanda tangan penulis....”
Dari jarak kurang dari sepuluh meter, meskipun aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, aku bisa langsung mengenali sosok lelaki bertubuh tinggi dan tegap itu yang kini mengenakan kemeja navy yang lengannya digulung hingga siku, celana jeans hitam, dan jam tangan sport. Mataku sulit berkedip, sementara detak jantungku tiba-tiba melonjak.
River?
Apa aku... sedang berhalusinasi karena kecapekan?
***
Jangan lupa tinggalkan komentar, guys ♡
Tertanda,
Septi Nofia Sari dan Emerald8623
KAMU SEDANG MEMBACA
River: A Man Who Came in My Dreams (On Going)
RomanceRiver: A Man Who Came in My Dreams by Septi Nofia Sari & Emerald Dalam kisah yang ia tulis bersama Bita, Moana menceritakan tentang sosok tak dikenal yang menghiasi mimpinya selama bertahun-tahun. Buku itu disambut antusias oleh banyak pembaca, sehi...