Keesokan hari.
Aku terbangun dan jam sudah menunjukkan pukul 06.30 pagi. Aku beranjak dari kasur dan berlari menuju kamar mandi.
Selesai mandi, aku memakai seragam dan menyisir rambutku agar tidak kusut. Aku mengambil tas dan mendekati Ibu untuk berpamitan.
"Aku sekolah dulu ya. Kalo Tante ke sini-bilang nanti siang aja," kataku.
"Hati-hati sayang," ujar Ibu.
Aku mencium punggung tangan Ibu dan berjalan menuju luar. Aku menaiki sepeda, lalu mengayuh sepeda dan meninggalkan rumah.
Setelah lima belas menit menempuh perjalanan, aku sampai di sekolah. Aku memarkirkan sepedaku di bawah pohon rindang, kemudian bergegas masuk sebelum pintu gerbang utama dikunci.
"Diva!" panggil seseorang, suaranya terdengar dari arah belakang.
Aku melirik dan melihat sahabatku-Adinda berada tak jauh dariku. Dia tersenyum dan berlari mendekatiku.
"Kenapa gak nunggu gue? Padahal gue bawa mobil," tanya Dinda dengan suara cemprengnya.
"Lo kelamaan. Kalo nunggu lo keburu dijajah Belanda lagi," jawabku asal.
Aku berjalan melintasi lorong sekolah bersama Dinda yang berusaha menjajarkan posisinya denganku. Kami bersahabat sejak SD dan Dinda sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh Ibuku.
"Lo tau gak? Katanya ada guru baru loh. Semoga guru barunya cogan," ucap Dinda dengan nada dibuat-buat.
"Itu baru katanya. Siapa tau bohong. Lo kayak gak tau anak sekolah kita aja, suka nyebar berita hoax dan bodohnya banyak yang percaya sama hoax. Salah satunya lo," ucapku.
"Iya sih tapi apa salahnya berharap," sahut Dinda lalu tersenyum seringai.
Aku menggeleng dan mengabaikan celotehan Dinda yang menceritakan keributannya dengan sang pacar. Aku bosan mendengarnya karena Dinda selalu ribut dengan pacarnya dan bodohnya dia selalu mau diajak balikan meskipun cowoknya memiliki riwayat selingkuh tujuh kali.
Aku memasuki kelas dan menaruh tasku di meja. Aku duduk dan menunggu kedatangan guru dengan bermain ponsel untuk mengisi kegabutan. Aku dan Dinda berada di kelas yang berbeda dan aku duduk sendiri karena tidak pandai bergaul.
"Div, tukeran tempat duduk yuk." Siswi cantik berdiri di hadapanku. Namanya Lusi, teman sekelasku yang terkenal ganjen dan licik. Lusi tidak segan mengorbankan temannya sebagai kambing hitam atas perbuatan jahat yang dia lakukan.
"Gak, kamu duduk di bangku lain aja." Aku menolak tanpa menatapnya sedikitpun. Aku malas berurusan dengan cewek caper sepertinya. Namun, dia selalu mendekatiku dan meminta kunci jawaban.
"Please ... Aku mau duduk di tempat kamu," ucapnya.
Dia memohon, menyatukan kedua tangannya dan menatapku dengan mata berbinar-binar. Aku meliriknya sekilas, kemudian menghela napas.
"Mau ngapain sih? Bukannya kamu gak mau duduk di depan karena takut ditunjuk saat guru menjelaskan?" tanyaku menahan emosi.
"Katanya ada guru baru dan yang aku dengar guru barunya itu ganteng jadi aku mau duduk di depan supaya bisa tatap-tatapan mata sama dia," jawabnya jujur.
Aku kembali menghela napas. Aku sudah menduga berita kedatangan guru baru mengusik hidupku. Tapi aku tidak akan memberikan tempat dudukku kepada orang lain.
"Ini tempatku! Aku gak akan kasih tempat ini demi memenuhi kecaperan kamu," ucapku.
"Kamu egois banget sih! Lagian sekolah ini bukan punyamu! Orang miskin belagu," cemoohnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love My Teacher [END]
Ficção AdolescenteAdiva Putri Ivana, siswi kelas XI yang menyimpan kemalangan dalam hidupnya. Adiva harus merawat Ibunya yang lumpuh, sedangkan Ayahnya kabur bersama janda setelah Ibunya divonis lumpuh seumur hidup oleh dokter. Adiva terpaksa bekerja untuk memenuhi k...