Chapter 4 • Intuisi

9 3 5
                                    

"Sar?"

Sari tak menanggapi, tapi Dea tahu dia mendengarkan. Sekali lagi mereka sedang berada di halaman rumah Dea, sama-sama berbaring sambil memandang langit malam yang gelap, berbeda keadaan dengan malam sebelumnya yang gemerlap oleh cahaya bulan dan bintang.

"Kamu mau ambil tali pocong Ina?"

Saat di rumah mbah dukun, Sari pikir dirinya akan sangat gembira jika mengetahui seorang perawan meninggal, karena dengan begitu dia dapat mengambil tali kain kafannya. Akan tetapi, saat dirinya tadi mendengar kabar kematian Ina dari Bu Aina, Sari tidak merasakan sedikitpun perasaan itu, alih-alih Sari merasakan kekosongan di hatinya yang biasanya hanya ia rasakan ketika merasa kehilangan sesuatu yang berharga.

"Gak tahu."

"Kenapa?"

"Lebih tepatnya aku bingung. Aku tahu apa yang mungkin kulakukan adalah sesuatu yang salah."

"Terus gimana dengan persyaratan mbah dukun? Kamu gak jadi gitu buat pakai pelet?"

"Nah, itu dia!" Sari mengubah posisi tidurnya jadi miring ke kiri, menghadap Dea. "Aku mau pakai pelet. Bahkan gak sabar untuk ngasih syarat pelet itu ke mbah dukun ... tapi aku juga gak mau jadi orang jahat yang ngebongkar kuburan orang lain demi keuntungan pribadi."

Ini pertarungan antara cinta dan empati namanya. Dan salah satu di antara keduanya harus mengalah dan yang lainnya akan menang.

Dea memahami apa yang Sari rasakan. Walaupun sikap Sari kadangkala arogan, tapi Dea mengenal Sari dengan sangat baik sehingga tahu bahwa sahabatnya itu juga memiliki empati untuk tidak melakukan hal jahat seperti membongkar kuburan orang lain.

"Oh... aku tahu!" Dea berseru, segera dia ikut berbaring menghadap Sari dan mengemukakan ide yang ada dalam otaknya. "Gimana kalau kamu ambil tali pocong Ina, nanti begitu kamu udah dapatin Tono, tali pocong itu kamu kembalikan lagi."

"Emang boleh begitu? Maksudku, emangnya nanti efek peletnya gak bakal terpengaruh? Gimana kalau kukembalikan tali pocong itu terus Tono kembali ke setelan awal yang gak suka sama aku dan akhirnya ninggalin qaku?"

Untuk semua pertanyaan Sari, Dea tidak punya jawabannya, dan memikirkan semua hal tersebut membuatnya pusing. Dea bangun, di susul Sari kemudian.

"Gak tahulah. Lagian, kalaupun nih ya, kamu memang mau mengambil tali pocong Ina, kamu yakin tidak kalau si Ina itu masih perawan? Kan kata Mbah Dukun, harus tali pocong perawan."

Pertanyaan Dea itu muncul secara spontan saja tatkala dia tidak tahu lagi harus menanggapi pertanyaan Sari tadi dengan bagaimana. Namun, pertanyaannya itu sukses membuat Sari kepikiran dan memunculkan kebingungan baeu untuknya.

"Iya juga ya, kalau ternyata Ina bukan lagi perawan maka mungkin peletnya gak akan berguna."

Dea bersila, mulai bersemangat kembali melanjutkan diskusi. "Benar itu. Zaman sekarang kan, banyak perempuan yang sudah tidak perawan lagi walaupun mereka belum menikah."

Sari tidak peduli banyaknya perempuan di zaman sekarang yang sudah tidak perawan sebelum menikah, tapi dalam masalahnya ini, hal itu sangat penting. Sari ingin, dia tidak salah membongkar kuburan seseorang yang tidak lagi perawan karena seperti yang sudah ia katakan tadi, mungkin hal itu bisa berefek pada hasil dari pelet untuk Tono nanti.

"Lagian nih pacar Ina tuh udah dewasa banget, Harto namanya. Usia Ina sekarang tuh 19 tahun sedangkan si Harto itu usianya sudah hampir tiga puluh tahun. Rasanya mustahil kalau hubungan mereka gak diselingi dengan hal-hal intim."

Tiba-tiba Sari mengernyit jijik. "Pedofil."

"Jangan heran, orang kayak gitu tuh slogannya usia hanyalah angka. Makanya usia berapapun kalau mereka suka bakal dipacari."

Misteri Tali Pocong PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang