Jam istirahat sudah berlalu lima menit yang lalu, namun Sho enggan beranjak dari tempat duduknya. Ia merebahkan kepalanya di meja berharap otak berisiknya berhenti menganggu emosinya. Ia berhenti memejamkan mata saat rungunya jelas mendengar gelak tawa yang sudah tak asing lagi. Mata tajamnya terus menelusuri setiap pergerakan perempuan bertubuh sedikit jangkung dari jarak pandangnya. Bisa ia lihat perempuan itu asik bercengkrama dengan pemilik surai putih biru.
"Tapi serius deh, kamu dateng ke kelasku cuma mau ngasih ini?" Tanya pemilik mata hazel itu pada lelaki di depannya. Ia melihat paper bag yang tengah ia pegang.
"Sesuai janji aku ke kamu Upi, kalau aku menang pertandingan, aku bakal beliin kamu parfum itu," ucap lelaki berparas tampan itu.
"Ya ampun Enzo, jangan-jangan kamu sudah naksir aku yaaaa?" Upi mengedipkan sebelah matanya berniat menggoda. Padahal waktu itu Upi hanya bercanda meminta parfum kepada Enzo. Siapa sangka Enzo ternyata benar-benar membelikannya.
"A-apaan sihh, aku cuma gak mau hutang janji," lelaki yang dipanggil Enzo itu memalingkan wajahnya yang sudah bersemu, ia mengusap tengkuknya guna menghilangkan rasa berdebar di dadanya.
Sho yang melihatnya mendengus jengah. Dengan kasar ia menghentakkan kursi yang ia duduki hingga terdengar derit yang sedikit memekakkan telinga. Semua atensi kini tertuju padanya, kecuali dua manusia yang masih saling melempar tatap di depan pintu kelas itu. Sho mencebik kesal. Lebih baik ia menyusul teman-temannya ke kantin daripada harus melihat Opera sabun di depannya. Ia berjalan ke arah pintu. Dengan sengaja ia menyenggol pundak Enzo dan berlalu melewati dua sejoli yang kini menatap Sho heran.
Upi tak ambil pusing dan kembali memusatkan atensinya kepada lelaki di depannya.
"Terimakasih Enzo, untuk parfumnya dan untuk perasaanmu padaku yang ternyata bukan cinta,"
Enzo terdiam dengan kalimat Upi. Ia menatap lekat netra hazel itu untuk mencari jawaban yang dibutuhkan hatinya yang tiba-tiba menjadi gelisah.
Upi menarik lengan Enzo pelan, "ayok ke kantin, teman-temanku sudah nunggu,"
Tarikan Upi menyadarkan Enzo dari otaknya yang sudah menciptakan terlalu banyak asumsi. Ia menghela napas mencoba berhenti memikirkan kalimat Upi. Enzo melangkahkan kakinya pasrah mengikuti perempuan yang tanpa ia duga sudah bertengger manis di sudut hatinya.
Niat hati mengistirahatkan emosinya dengan menikmati semangkuk mie ayam, Sho malah kembali melihat Upi dan Enzo yang berjalan ke arah meja yang sedang ia tempati. Ia mengeratkan genggaman pada sumpit saat melihat tangan Upi dengan santainya menarik lengan Enzo untuk duduk berdampingan di depannya.
"Gak usah sungkan, temanku baik-baik semua," Upi mencoba membujuk Enzo agar merasa nyaman. Ia lalu mengedar pandangannya ke arah teman-temannya.
"Maaf ya baru gabung," Upi melihat teman-temannya telah memakan pesanan mereka, ia berniat beranjak dari meja untuk memesan makanan.
"Aku saja yang pesan, kamu mau apa?" Enzo menahan pergerakan Upi agar tetap duduk manis di tempatnya.
"Maaf ya ngrepotin Zo, aku mau mie ayam 1 banyakin sambelnya sama es jeruk 1"
"Gak ada sambel, inget asam lambung?" Enzo masih ingat dua minggu lalu saat Upi hampir sekarat karena asam lambung yang tinggi.
"Iya deh," Upi hanya memanyunkan bibirnya sebal. Mie ayam tanpa sambal itu tidak enak, hambar.
Mereka berdua tak menyadari tatapan tajam dari depan mereka. Sho begitu jengah dengan tingkah mereka. Apa mereka sedang memainkan Opera sabun di depannya? Tanpa sadar rahang Sho mengeras.
Sepeninggal Enzo, Upi menjadi bahan ledekan teman-temannya.
"Kiw-kiw, pdkt-annya mulus bener nih," Amu yang duduk di samping Upi menyenggol bahu Upi bermaksud menggoda.