Naif

6 2 0
                                    

"Let's go to Hong Kong, Brother!" seru Rian tak mampu menutupi kegirangannya di Senin pagi itu. "Proposal kita tembus. Cuma kita diminta tambah personil. Yang jelas kamu, aku dan Cindy pasti ikut. Kita diminta tambah lima guru lagi karena kemungkinan dua kelas sosial dan dua kelas science bakal ikutan semua. Kecuali ada jumlah signifikan siswa yang nggak ikut. Kurang lebih berarti dua guru in charge satu kelas," ujarnya lagi.

Milo tersenyum lebar. Ia juga senang rencana yang sudah mereka susun untuk field trip siswa ini akhirnya bakal terlaksana. Hari itu juga mereka mendapatkan tambahan lima guru lagi yang kebetulan juga siap untuk memberikan tugas bagi siswa-siswa serta siap pula untuk bertindak sebagai penanggung jawab.

Dua guru baru yang masuk ke Uni-National bersama Milo yaitu Miss Nadya dan Mr. Matthew juga ikut serta. Sisanya Mr. Fredi yang belum lama menikah dan mengajar Cambridge IGCSE Mathematics, Laoshi Stephanie yang mengajar Mandarin, dan Miss Jean Seymour yang mengajar bahasa Inggris sama dengan Mr. Matthew hanya saja ia berasal dari Amerika. Rombongan ini lah yang resmi membawa para siswa untuk field trip ke Hong Kong sekitar tiga minggu lagi.

Tugas Rian dan timnya adalah mengumumkannya kepada semua murid grade 12 agar mereka dapat segera mendapatkan dana dari setiap siswa. Rian dan Cindy sendiri sudah mengurus dan menghubungi pihak-pihak yang terkait. Misalnya mengenai tiket pesawat, hotel, konsumsi dan sebagainya. Dalam waktu dua minggu, mereka harusnya sudah selesai mengurus semuanya dan minggu ketika sudah dapat langsung berangkat.

Mendengar berita ini, sebenarnya para siswa normal saja menanggapinya. Ini bisa dipahami karena rata-rata siswa yang bersekolah di sekolah ini memang berasal dari keluarga yang sangat mampu. Sejak kecil mereka sudah terbiasa bepergian ke berbagai tempat, termasuk ke luar negeri, untuk berbagai keperluan. Orang tua mereka juga kadang harus pindah karena pekerjaan dan bisnis baru, atau memang atas dasar alasan liburan.

Namun, tetap saja, bepergian bersama-sama teman sekelas dan satu sekolah merupakan hal yang menyenangkan juga bagi mereka. Rita adalah satu dari beberapa murid yang cukup excited atas rencana ini.

Pagi ini Milo akhirnya membaca pesan dari Talulah yang ia tidak acuhkan sedari kemarin. Isinya berupa tambahan pertanyaan dan permintaan maaf yang implisit bila Milo tidak senang dengannya menggambar serta mengirim gambar dirinya itu. Milo hanya merespon dengan emoticon 'OK' berupa jari telunjuk dan ibu jari yang bertemu.

Ia sudah tak mempermasalahkannya lagi dan malah cenderung bertanya-tanya tentan perilakunya sendiri yang aneh kemarin. Ini mungkin karena pengaruh emosionalnya ketika berkenaan dengan perihal 'hubungan.'

Kini sudah saatnya kembal menjadi seorang guru yang normal, yang tidak terlalu terbawa perasaan dan memiliki praduga yang tak berdasar.

Milo pun kemudian mendapatkan tugas menjadi guru yang mendampingi kelas sosial bersama Laoshi Stephanie. Kelas yang menjadi tanggung jawabnya adalah kelas Rachel. Untuknya tidak masalah kelas manapun, hanya saja mungkin kelas ini lebih baik dibanding kelas Talulah. Ia tak mau gadis itu terlihat menempel terus di sisinya kelak di Hong Kong, walau mungkin dengan alasan berhubungan dengan materi pelajaran.

Seminggu ini ternyata semuanya berjalan lancar. Rencana yang diajukan kepada murid ditanggapi dengan positif. Bisa dikatakan semua murid baik yang social maupun yang science memutuskan untuk ikut field trip ini. selain itu, di dalam kelas, Rachel berlaku normal. Ia tidak menunjukkan perilaku yang berlebihan. Awalnya Milo khawatir karena pada hari Sabtu lalu ia menghabiskan waktu dengan murid perempuannya itu di sebuah taman bercakap-cakap, atau karena hari Minggu sorenya ia dan Rachel terlibat percakapan yang cenderung intim serta pribadi melalui chat, Rachel akan bertingkah sok akrab. Nyatanya, gadis itu selalu menjadi dirinya sendiri yang ceria dan penuh tawa. Di kelas, ia menanyakan hal-hal yang wajar dan memang berhubungan dengan materi atau proyek penulisan esainya.

Rita, syukurnya juga sama saja. Gadis itu tetap pendiam di dalam kelas dan bertindak seperlunya. Sedangkan Talulah, yang berada di kelas yang sama dengan Rita, masih berusaha untuk mencari celah agar dapat menghabiskan lebih banyak waktu dengan Milo dibanding murid lainnya.

Milo sungguh merasa bodoh dan naif. Ia seperti kehilangan arah setelah tidak lagi memiliki Kath di sisinya. Ia menjadi kurang peka, atau sebaliknya terlalu berlebihan dalam memikirkan apa yang sedang terjadi pada dirinya sekarang. Bagaimana bila ternyata semua hanya perasaannya belaka? Bagaimana bilamana ternyata baik Rachel, Rita, maupun Talulah tak memiliki maksud apa-apa kepada dirinya? Hanya ia saja yang terlalu percaya diri. Atau sebaliknya, bagaimana bila Rachel, Rita dan Talulah memang memiliki perasaan lebih kepada dirinya dan berusaha untuk mendapatkan perhatian lebih darinya?

Itu sebabnya, Milo memutuskan untuk melupakan Kath sebagai sosok kekasihnya, dan mengenangnya saja sebagai orang yang pernah ada di dalam hidupnya. Ia akan berlaku sebagai seorang Milo yang sebenarnya, yang sesuai dengan pribadinya. Ia adalah seorang laki-laki dewasa yang tidak boleh gentar dan berpikiran nyeleneh hanya karena masalah sepele dan tidak profesional di dalam pekerjaannya.

Di hari Kamis, Milo sudah berhasil menyelesaikan semua tugas-tugasnya. Baik pelajaran, maupun tanggung jawabnya di dalam field trip ke Hong Kong nanti.

"Oke, jadi kita sudah dapat daftar semua murid yang ikut, 'kan Pak?"

Milo menyadari bahwa Laoshi Stephanie sudah ada di samping menja kerjanya. Untung ia tak tersentak terkejut. "Oh, Laoshi. Iya, ada sama saya list-nya. Semuanya ikut, Laoshi."

Stephanie sebenarnya memiliki umur sebaya dengan Milo. Hanya saja tubuh dan wajahnya yang mungil dapat membuat orang salah sangka bahwa Stephanie bisa saja masih duduk di bangku kuliah. Ia dan Milo belum terlalu akrab di sekolah ini karena memang mereka tidak memiliki kesempatan yang banyak untuk berinteraksi. Makanya, dengan adanya field trip ini, Milo sebenarnya bersyukur dipasangkan dengan Stephanie. Mereka bisa lebih akrab dan di Hong Kong kelak Stephanie dapat membantunya melewati permasalahan language barrier.

"Saya tahu orang Hong Kong berbahasa lokal dialek Kanton, tapi secara umum dengan Mandarin mereka pasti bisa 'kan, Laoshi?" tanya Milo beberapa waktu yang lalu ketika ia membahas mengenai field trip ini secara khusus dengan Stephanie.

"Iya, Pak. Saya juga nggak bisa bahasa kanton. Jadi, ya pasti pakai Mandarin di sana untuk berkomunikasi ntar. Tapi, banyak kok yang bisa bahasa Inggris, mengingat Hong Kong dulu juga dibawah administrasi Inggris," balas Stephanie.

"Iya, Laoshi. Setahu saya juga Hong Kong juga kota yang multicultured. Banyak orang dari beragam negara disana. Cuma, tetep aja, sama Laoshi kalau jalan-jalan nanti aman kita," ujar Milo sumringah.

Stephanie tertawa dan memberikan respon setuju.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang