2

605 39 1
                                    

Kilas masa lalu kembali mengitari kepala Davema, dan ia tidak akan pernah melupakan bagaimana awal mula perasaannya bersemi dan tumbuh makin subur.

Davema menatap punggung wanita cantik yang membawa anak kecil ke dalam gendongannya setelah sang pembantu menyerahkan anak mungil itu ke gendongan Dinda lalu pergi meninggalkan majikannya, sesekali jemari lentiknya mengelus punggung anak kecil itu dengan pelan, menenangkannya.

Namun, rupanya tangis anak kecil itu tidak juga reda. Dengan langkah pelan, Davema mendekati keduanya, "kenapa??" Tanyanya pelan.

Dinda mendongak, menatap Davema yang menurutnya sangat tinggi, ia hanya sebatas bahunya saja, "demam" sahut Dinda singkat.

Davema membuka kancing kemejanya, lalu melepasnya, melemparnya ke sofa membuat Dinda mendelik kaget, "kamu...."

"Sini, biar saya yang gendong" Davema memutus ucapan Dinda.

Dinda mengerjap, sedikit ragu memberikan putranya, tapi, beberapa detik kemudian, Dinda menyerahkan Raja ke dalam gendongan Davema. Saat itu juga, tangisan Raja berhenti, meski masih sesengukan, mata Raja mulai terpejam, menyandarkan kepalanya di dada bidang Davema.

Dada Davema berdetak kencang, tangannya terulur, mengelus punggung anak kecil dalam dekapannya, badannya memang panas. "Sudah diberikan obat??"

"Sudah, tapi masih demam".

Davema bisa melihat kekhawatiran yang tergambar jelas di wajah Dinda.

"Nanti kalau belum turun, kita bawa ke rumah sakit".

Dinda mengangguk, menatap Davema yang mengelus punggung Raja dengan pelan, menimangnya sesekali mengecup kepalanya. Saat itu juga, dada Dinda berdenyut nyeri.

Beberapa menit kemudian, Raja benar-benar sudah terlelap, dengan telaten, Davema membaringkan tubuh mungil itu di ranjang. Saat itu juga, ia dapat melihat dengan jelas, bagaimana rupa wajah anak yang sedari tadi dalam dekapannya.

Davema mengusap kening mungil itu dengan tangan bergetar, wajah ini, benar-benar wajahnya versi kecil. Ya Tuhan!

"Mas, kamu belum makan, ayo makan dulu".

Davema menoleh, melihat Dinda yang menyiapkan makanan yang sudah ia pesan, dengan langkah pelan, ia mendekati Dinda, lalu berdiri tepat di sampingnya, menatap Dinda lekat-lekat.

"Makan dulu mas, kamu belum makan".

"Saya butuh bicara sama kamu".

Dinda mengangguk, "iya, nanti kita bicara, setelah makan".

Davema tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah Dinda. Sedari dulu, hanya wanita ini yang mampu memerintahnya sesuka hati, dan dia dengan senang hati menurutinya.

*****

"Siapa namanya???" Tanya Davema dengan tatapan tajam, ia tidak ingin menunggu terlalu lama, maka setelah acara makan malam selesai, ia langsung menanyakannya.

"Raja".

"Anak saya kan? Dia... anak saya kan??"

Dinda terdiam, lalu mengangguk, mau disembunyikan bagaimana pun, pada akhirnya Davema akan tahu juga kan? Lagi pula, wajah Raja yang sangat mirip dengan Davema, dan hal itu dapat mambuat Davema dengan mudah menebaknya.

Dan lagi, selama dua tahun ini, ia rasa sudah cukup menyembunyikan Raja dari Davema dan keluarganya.

Davema menatap intens wanita cantik di depannya, wanita yang sangat ia rindukan selama dua tahun ini. Bukan, bukan berarti ia tidak mencari keberadaannya, tapi, Dinda terlalu pintar bersembunyi, termasuk menyembunyikan darah dagingnya.

"Saya mengucapkan terimakasih, kamu sudah menenangkan dan menidurkan Raja yang rewel. Tapi, saya rasa, sebaiknya kamu pulang, Raja sudah tidur".

Davema mengernyit, dia diusir? Davema tersenyum miring, "kenapa saya harus pergi?"

Dinda menghela nafas, "kita hanya orang asing, saya nggak bisa menerima orang asing di kamar saya".

Orang asing? Sungguh? "Orang asing tidak akan mampu membuat kamu hamil Adinda, jadi, kita tidak seasing itu" ujarnya dengan nada sarkas.

Dinda tahu, Davema itu benar-benar pintar mengolah kata, ia benar-benar kesal dengan laki-laki itu.

"Dan kalau kamu lupa, kita pernah berbagi kehangatan dan kenikmatan, kamu mendesah dibawah kukungan saya, meneriakkan nama saya, dan..."

"STOP, kamu pergi dari sini" Dinda benar-benar tidak habis pikir, kenapa lelaki di depannya ini masih percaya diri mengatakan hal yang sudah menjadi masa lalu.

"Kenapa?? Saya hanya memberi tahu dan menjelaskan, orang asing itu seperti apa, dan kita, sama sekali tidak termasuk orang asing".

Dinda geram, ia benar-benar kesal, dua tahun benar-benar merubah Davema menjadi pribadi yang menyebalkan. Ia tidak menyangka, selain brengsek, Davema juga menyebalkan.

"Davema, pergi dari sini atau saya akan meminta satpam mengusir kamu"

Davema tersenyum miring, "silahkan, tapi saya pastikan kalau satpam itu tidak akan berhasil mengusir saya, dan setelah itu, saya pastikan kamu akan menjerit di bawah kukungan saya".

Gila! Davema benar-benar gila!

"Kamu gila".

"Ya, saya memang gila, dan itu karena kamu".

Dinda memijat keningnya, "lalu kamu mau apa??"

Davema tersenyum manis, mencondongkan tubuhnya, "saya mau disini, sama kamu dan anak kita".

"Terserah, tapi kamu tidur di sofa" Dinda mengalah, ia benar-benar malas berdebat.

"Kenapa saya harus tidur di sofa???"

"Kamu jangan gila mas, kita..."

"Suami istri, kita suami istri, dan kenapa saya harus tidur di sofa, kenapa saya tidak tidur di samping istri saya saja? Hmmm??"

"Tapi saya nggak mau tidur dengan kamu".

"Kenapa???"

"Tidur saja dengan istri kedua kamu".

Davema mengernyit, lalu senyum cerah langsung terbit di bibirnya, "tidak perlu cemburu Adinda, saya masih punya kamu".

"Saya nggak peduli, lebih baik kamu pergi atau kamu tidur di sofa, saya nggak mau dekat-dekat dengan kamu".

Davema menghela nafas kasar, Dinda dan keras kepalanya, "oke, saya tidur di sofa" ia mengalah, memandangi wanita cantiknya yang mendengus dan mengambil pakaian di koper besar miliknya, hendak mengganti pakaian di kamar mandi.

Davema tersenyum geli, "mau kemana? Kenapa tidak ganti pakaian disini saja? Kamu malu sama saya?? Lupa kalau saya pernah lihat semua tubuh kamu?"

"Mesum" ujar Dinda kesal menatap Davema dengan tatapan mematikan. Namun sayangnya, dimata Davema, tatapan itu justru menggemaskan.

"Sah-sah saja, kamu halal untuk saya, saya juga mesum dengan istri saya sendiri yang sudah lama tidak memberikan jatah".

Davema tersenyum miring saat melihat wajah istrinya memerah menahan amarah, lalu pergi begitu saja ke kamar mandi.


______________
Jangan lupa vote dan komennya❤

Possesif Dema (Davema)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang