Prolog.

15 3 5
                                    

Angin yang berhembus dingin mulai menusuk ke lapisan epidermisnya hingga sedikit lebih dalam ke lapisan dermis, sangking dinginnya malam ini. Tapi tak membuat dia menepi dari guyuran hujan yang lebat malam itu.

Lapisan tipis di pelupuk matanya sudah meleleh sejak tadi. Sejak kepercayaannya dikhianati.

Sesakit itu.

Orang yang di percaya, orang yang dia beri separuh hatinya melenyapkan semua kepercayaan, menghancurkan rasa yang dia miliki. Meleburkan semua yang telah dibangun berbulan-bulan dalam sekejap.

Bibirnya yang kering dia gigit kuat, berusaha tidak mengeluarkan lirihan yang memilukan dalam hatinya.

Tangannya kembali menyapu permukaan kulit pipinya.

Walau air matanya bercampur dengan guyuran hujan, tapi tetap saja, mata merahnya, tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Dia tidak marah, tapi tetap saja itu menyakitkan untuknya.

Satu hal yang dia ingat di malam ini ... jika dia berhak memilih kebahagiaannya, dan ada satu hal lagi---

Dia mengatur napasnya perlahan.

... jika dirinya bukan satu-satunya. Tapi melainkan dirinya--- salah satunya.

Suhu tubuhnya mulai dingin, dia tidak bisa semudah itu merasakan sakit untuk kedua kalinya. Mungkin jika sikapnya yang sangat baik saat bersamanya tidak pernah di tunjukkan padanya, mungkin saja dia akan bisa melepaskannya tanpa melibatkan hatinya untuk berpikir lama. Jujur saja, yang ini sangat susah tapi dia tidak bodoh untuk terus melanjutkan semuanya.

Dia tidak akan menerima seseorang yang mempermainkan perasaannya. Apalagi jika dia tidak setia.

Untuk apa terus menggenggamnya?

Dia seolah melihat ke arah cermin. Dia melihat dirinya seperti wanita yang melahirkannya.

Tring.

Untung saja ponsel di saku celananya masih bisa berfungsi. Dia melihat nanar ke arah ponsel itu.

Mama

Nay, gimana kabarnya Alhan?

Gadis itu menarik napas lalu dihembuskan perlahan. Dia mengetikkan balasan.

To Mama :

Baik, Ma.

Terkirim. Dia memasukkan lagi ponsel miliknya. Sweater ungu muda yang menghangatkan tubuhnya sudah basah sepenuhnya. Dia seharusnya tidak menyiksa dirinya, kan?

Satu hembusan napas terdengar satu kali lagi. Dia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya.

Saat dia bangun, saat kakinya baru melangkahkan satu langkah, seseorang di hadapannya lah yang membuat dirinya berdiri tanpa kata. Hanya tatapan kekecewaan yang berbicara.

Sama halnya dengan cowok itu, dia menatap pada mata hitam kecoklatan jernih milik gadis itu.

Cowok itu masih diam tanpa sepatah kata pun.

"Nay," panggilnya setelah lama terdiam.

Naya tidak meresponnya.

Cowok di hadapannya mulai melangkah, mendekat padanya.

Tubuhnya yang tinggi membuat Naya mendongakkan kepalanya. Menatap pada manik hitam gelap itu.

"Maaf ... Maaf aku udah ngecawain Mama sama kamu."


Pemanasan dulu.

Disini aku gak akan banyak prakatanya, tapi tetap aku pasti bilang MAKASII YAA SUDAH MAMPIR Luv<3

Pastikan bintangnya sudah di tekan, ok?

Sudah belum? HAH! BELUM? Tekan dulu gih bintangnya.

Hehe.

Dan selamat ulang tahun buat yang punya cerita ini, yuhuuu🎉🎊

See uuuu

Purple You 💜

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Langit Jingga : N & ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang