BAB 11 - Aura pria beristri versus pria lajang empat dekade

174 11 1
                                    

Sepatu booth, topi, pakaian dinas lapangan, dan sarung tangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepatu booth, topi, pakaian dinas lapangan, dan sarung tangan. Sudah lama sekali aku tak mengenakan satu set kostum ini. Terakhir kali aku mengenakan pakaian dinas lapangan kira-kira lima tahun yang lalu. Saat itu aku sedang mengikuti fieldtrip eksplorasi keragaman hayati di sebuah hutan di Jawa Timur. Seru dan menyenangkan. Pun menegangkan, tentu saja. Apalagi, saat itu salah seorang kakak tingkat yang memandu peserta fieldtrip adalah orang yang diam-diam aku sukai. Masih ingat alasan aku naik gunung? Ya, dia orang yang sama.

Masuk ke hutan selalu memberi sensasi menegangkan yang biasanya bisa aku nikmati, luapan adrenalin yang bisa dibilang mencandu. Seperti ketegangan yang kamu rasakan ketika meluncur di perosotan kolam renang. Begitu ujung perosotan habis dan tubuhmu tercebur ke kolam, muncul perasaan lega yang langsung diikuti oleh keinginan untuk meluncur sekali lagi. Kemudian, tahu-tahu kamu sudah menanti giliran di puncak perosotan. Ya, kurang lebih seperti itu perasaan yang aku rasakan. Sayangnya, kali ini aku merasakan hal yang berbeda.

Banyak penyebab, kupikir. Pertama, alih-alih berada di hutan alami dengan pohon berkayu dan semak di sepenjuru arah pandang, kami sedang menapaki jalan setapak dengan ratusan batang bambu menjulang di kanan dan kiri jalan. Kedua, entah kenapa, perasaan terkhianatiku masih belum hilang. Setiap memandang wajah Pak Pala, aku tiba-tiba kesal tanpa alasan yang jelas.

Ya, Tuhan. Kenapa aku jadi berubah kekanakan seperti ini?

Gris, fokus! Selesaikan pekerjaan. Abaikan Pak Pala. Be professional. Oke?

Aku merapal mantra itu dalam hati sembari mengekor Pak Pala yang sedang mengobrol dengan seorang wanita seumuran Pak Pala. Pembawaan wanita itu tegas dan terkesan tangguh. Dari bagaimana dia menjabat tangan kami saja aku sudah bisa merasakannya. Dia adalah Bu Mira, koordinator tim lapangan area Jawa Timur.

"Oh, Mbak belum pernah ke sini, ya?" tanya Pak Mukti yang berjalan di sampingku, ketika aku menanyakan tempat apa sebenarnya yang sedang kami kunjungi.

"Ini pertama kalinya saya ke sini," jawabku. Di pintu masuk tadi aku sempat membaca plang namanya. Hanya saja, aku tidak yakin tempat apa ini sebenarnya.

"Orang-orang sekarang lebih kenal tempat ini sebagai objek wisata hutan bambu," ujar Pak Mukti memulai penjelasannya.

Aku mengedar pandang. Cukup mengingatkanku akan foto-foto estetik hutan bambu di Jepang atau China. Aku bisa membayangkan banyak foto di Instagram berlatar hutan bambu ini yang estetikanya sebelas-dua belas dengan itu.

"Padahal, Mbak, dulu tempat ini itu TPA. Habis TPA-nya ditutup, tempat ini ditanami bibit bambu," lanjut Pak Mukti terdengar sangat bangga. Aku pun akan bangga menyampaikan pencapaian sebesar ini. "Nggak nyangka sekarang orang-orang malah jadiin tempat ini objek wisata."

Pak Mukti terus menceritakan detail hutan bambu ini. Jenis bambu apa saja yang ada di sini, spot terbaik untuk foto, berapa biaya tiket masuknya, kapan hari tersibuk dalam seminggu, dan banyak detail lainnya. Aku manggut-manggut saja menerima gelontoran informasi itu. Hingga, Pak Mukti tiba-tiba menyebut nama Pak Pala dengan nama depannya. "Pak Gung itu belum menikah, ya, Mbak?"

BAMBUSA WISHES (Gerha Purana Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang