Orang Baru

20 6 11
                                    


🌻🌻🌻

Sosok di balik gorden itu perlahan mendekat. Mata bulatku menatap lekat lelaki berperawakan tinggi tersebut.

“Aku manusia, enggak usah mikir yang aneh-aneh.”

Aku semakin terkejut karena seolah dia bisa membaca pikiranku dengan baik. Deheman beberapa kali keluar dari bibirku tanpa permisi. Reaksi alami saat aku merasa gugup dan canggung. 

“Kamu ngapain di balik gorden? Main petak umpet?” tanyaku dengan nada ketus.

Sosok lelaki berwajah dingin itu tak bereaksi sama sekali kecuali alis tebalnya yang terangkat diiringi bola mata berotasi malas.

“Kalau ditanya itu jawab. Enggak sopan banget masuk ke ruangan orang lain sembarangan terus ngebuat kaget,” keluhku masih dengan wajah tidak ramah.

“Di balik gorden itu ada jendela. Aku cuma menikmati pemandangan selagi nunggu acara dimulai.”

Aku mulai kehilangan selera pada mie instan yang belum diseduh itu. Kini atensiku berada pada lelaki jangkung di hadapan. 

“Acara apa? Ini ruangan UKM musik. Kamu bukan anggota, aku hafal semua anggota di sini,” ucapku dengan nada mulai naik satu oktaf.

Lelaki itu berjalan mendekat dan meraih bumbu mie yang sudah terlanjur aku buka. Seolah tak terganggu dengan sikapku, lelaki itu menuang bumbu ke dalam cup dan berjalan menuju dispenser untuk mengisinya dengan air panas.

“Udah terlanjur dibuka, harus dimakan. Jangan suka mubazir makanan,” ucapnya seraya meletakkan kembali mie instan dengan asap mengepul itu di atas meja.

Aku diam membeku. Sejujurnya otakku sedang memilih reaksi apa yang harus aku keluarkan. Perbuatan lelaki ini membuatku canggung dan kikuk.

“Kamu ngapain?” Dua kata retorik ini yang akhirnya keluar dari mulutku. Aku rasanya ingin mengumpat.

“Menurutmu ngapain? Emang enggak keliatan ya, Neng? Makan aja buruan, nanti keburu ngembang. Ucapan makasihnya lain kali aja,” sahutnya santai.

Belum sempat aku menyahuti, lelaki itu sudah melenggang pergi keluar dari ruangan ini. Aku hanya bisa menatap mie yang terlihat semakin mengembang. Masa bodoh dengan orang tadi, aku harus cepat makan sebelum anggota lain berdatangan. 

Baru lima suapan masuk ke mulutku, pintu kayu jati itu terbuka kembali. Hampir saja aku tersedak jika terlambat meminum air. Mataku menatap nyalang pada Mauren yang masuk diiringi dua sahabatku yang lain. Dia memang selalu membuka pintu layaknya geng nero yang mengajak tawuran. Ngomong-ngomong, kami berlima termasuk Lentari bergabung di UKM yang sama selama dua tahun belakangan. Bisa dibilang UKM musik inilah yang berjasa dalam awal mula persahabatan kami. Senyum semringah dari ketiga orang ini membuatku urung untuk marah. 

“Besok kalau buka pintu, sekalian tendang aja, Ren,” ucapku sarkastis.

Mauren membuka keripik kentang yang dia bawa. Tangannya merogoh satu suap keripik lalu dijejalkan ke mulutku. “Makan mie terus, lama-lama usus buntu.”

Aku terbatuk sambil berusaha mengunyah makanan penuh MSG itu. Andai saja bukan temanku, ingin aku jual dia di marketplace

“Kamu mau buat aku mati keselek, ya?

Mauren mengedikkan bahu. “Maunya sih, tapi nanti enggak ada lagi manusia yang semedi di bawah pohon flamboyan.”

“Udah ... udah, jangan ribut di sini. Anak-anak yang lain mulai pada dateng. Kalian enggak malu emangnya? Masak pengurus UKM berantem,” ucap Arina menengahi. Lagi-lagi dia seperti ibu kos yang mengurus para penghuni.

“Maaf, Bu Kos. Tolong urus si pipi kembung itu, aku mau lanjut makan mie,” balasku seraya bangkit dengan pop mie di tangan.

Dapat aku dengar Mauren menggerutu sambil mengunyah keripik kentang. Aku tersenyum simpul, apa jadinya jika di hidupku yang ‘gelap’ ini tidak ada mereka? Mungkin akan kembali seperti 2 tahun lalu, bernapas hanya sebagai formalitas.

“Ra, baju kamu kena cipratan kuah,” ucap Senjani yang kini berdiri di sampingku.

Wanita itu menyerahkan selembar tisu basah padaku. Aku menerima tanpa menyahut. Rupanya Senjani mengikutiku ke arah jendela. Jika dipikir dia memang selalu tiba-tiba muncul layaknya tukang parkir di ATM.

“Gabung aja sama anak-anak lain. Makananku dikit lagi habis kok.” Aku akhirnya membuka suara setelah suapan mie terakhir rampung. Tinggal menyeruput kuah, acara makan ini akan selesai.

“Aku mau nemenin kamu, Ra,” sahut Senjani. Manik di balik kacamata itu selalu berbinar ketika melihatku.

“Udah sana balik, aku bukan anak TK yang makan mesti ditemenin.” Meski aku selalu ‘mengusir’, Senjani nyatanya bergeming.
 
Kini Senjani malah menyandarkan kepala di bahuku dan merangkul lengan dengan posesif. “Aku bergadang lagi buat gambar. Enggak sadar tiba-tiba udah jam 4 subuh.”

“Kamu harusnya masuk jurusan DKV aja daripada ekonomi. Bakatmu bakal lebih berkembang di sana,” ucapku sambil menoyor kepalanya agar tidak bersandar.

“Orang tuaku pengen aku masuk jurusan ekonomi, Ra. Kamu, kan, udah tahu,” sungutnya dengan bibir mengerucut kesal.

Aku menatap penuh arti ke arah Senjani. Dari kami berlima, orang tuanya yang paling kaya. Mungkin jika menjadi dia, aku akan merengek untuk kuliah di luar negeri. Sayangnya aku hanya seorang yang bisa kuliah karena bantuan beasiswa pemerintah. 

“Kamu udah di atas 17 tahun, belajar mempertahankan keputusanmu sendiri. Apa yang kamu lakukan dan putuskan sekarang, menentukan dirimu 5 tahun mendatang.” 

Tanpa sadar aku kembali berceramah seperti orang sepuh yang sudah makan asam garam puluhan tahun. Padahal nyatanya aku sama saja. Hanya memang dari kecil sudah memikul beban yang berat. Anggap saja pendewasaanku ini karbitan dari keadaan.

“Iya deh, si paling dewasa. Ceramahin orang mulu, tapi disuruh hidup sehat enggak mau,” balas Senjani seraya melirik mie instanku.

Aku berdeham dan meninggalkannya untuk mencari tempat sampah. Bukankah memang manusia gampang merangkai kalimat bijak, tetapi implementasinya sendiri sering tidak sejalan? Aku tertawa miris dalam hati.

“Na, materi rapat udah siap, kan? Draft yang aku kasih udah disusun?” tanyaku pada Arina.

Arina mengangguk mantap sambil mengeluarkan kertas dari ransel. Dia memang selalu bisa diandalkan. Aku merasa beruntung Arina menjabat sebagai wakilku di UKM ini. Jika diajak berbicara visi dan misi, memang dia adalah partner ternyaman. Meski tak jarang kami sama-sama keras kepala dan berujung pada perdebatan. Akan tetapi, jika membayangkan tanpa Arina di UKM ini, aku rasanya tidak sanggup.

Ponsel di saku celanaku bergetar. Alis tertekuk menandakan aku tidak suka dengan panggilan ini. Nama yang terpampang di layar tidak akan pernah meneleponku jika bukan karena ada sesuatu yang buruk.

“Siapa, Ra? Angkat aja, rapatnya masih 5 menit lagi kok,” ucap Arina.

Aku menggeser tombol hijau dengan ragu-ragu. Benar saja, suara yang menyapa lubang pendengaranku pertama kali adalah isak tangis. Mataku terpejam sejenak, otakku sedang menerka skenario buruk apa lagi yang sedang terjadi.

“Kenapa, San?” tanyaku dengan suara setenang mungkin pada sosok di seberang.

Adikku yang bernama Sandrina itu tak langsung menjawab. Ada jeda sekian detik. Aku yakin dia sedang menetralkan napas.

“Cepet pulang, Kak! Ibuk dipukulin lagi sama bapak.”



Bersambung

Wilted FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang