18

417 48 4
                                    

"Sendirian? Lo itu bareng dari SMA. Sendirian apanya? Ke toilet aja berdua kek banci, " cibir Harlan melirik sinis Hansel yang tengah melamun.

Bugh!

Tiba-tiba saja wajahnya mendapatkan tinju dari lelaki itu. Ia hanya menatap tidak percaya kepada Hansel. Ia membalas tatapan dingin yang diberikan oleh lelaki itu dengan tatapan sinis, padahal ia hanya menyatakan fakta.

"Lo yang banci! Ada urusan apa lo sama gue?! Gue lagi nggak minta berantem!" murka Hansel berdiri lalu menarik kerah baju lelaki itu.

Harlan hanya diam tanpa mengatakan apapun. Ia mengucapkan beberapa kata di telinga Hansel. Dalam sekejap Hansel melepaskan tangannya dari kerah bajunya. Ia yakin perkataannya akan membuat lelaki itu menderita.

"Gue nggak peduli."

Namun, ia justru mendapatkan balasan tenang. Ia mengira lelaki itu akan meledak seperti biasanya jika berkaitan dengan sahabat dan keluarganya. Perubahan Hansel membuatnya ingin bermain-main dengan lelaki itu.

Matanya hanya menatap lutut dan lengan lelaki itu yang mempunyai darah kering. Ia menatap Hansel cukup heran. Lelaki itu memangnya sudah gila ke cafe dengan tubuh penuh luka.

"Habis di perkosa orang lo? Kotor banget," ejek Harlan dengan mengangkat alisnya.

Bugh!

Harlan mendesis karena lagi-lagi wajahnya mendapatkan tinju. Ia mengelus wajahnya dengan menatap malas lelaki itu. Ia padahal sedang mengatakan hal yang sebenarnya.

"Cuih, katanya orang pintar tapi mulutnya kek orang nggak waras," pekik Hansel dengan wajah muram. Kata orang Harlan itu orang pintar, tetapi yang sebenarnya lelaki itu tidak lebih dari sampah.

Harlan justru tertawa begitu saja. Ia mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya. Benda itu ia lempar ke wajah Hansel tanpa rasa bersalah karena mengenai wajah lelaki itu.

"Tuh, terima aja sumbangan dari gue. Kasian gue sama pengemis kek lo," ejek Harlan yang ingin pergi.

"Wait!" seru Hansel dengan menyeringai.

Harlan menatap kelicikan yang diberikan oleh Hansel. Ia agak ragu dengan perubahan yang ada dalam diri lelaki itu. Ia yakin lelaki itu akan melakukan sesuatu yang membuatnya kesal.

"Obatin luka gue," celetuk Hansel dengan tersenyum licik.

"Fuck, lo kira gue budak lo! Anjing, lo!" maki Harlan dengan beranjak pergi meninggalkan lelaki itu.

Kini menyisakan Hansel yang tertawa kecil dengan menahan senyumannya. Ia menatap obat luka dari lelaki itu. Namun, ekspresi wajahnya seketika berubah mengingat perbuatan lelaki itu di kehidupannya yang dulu.

"Nggak akan gue biarkan lo bahagia," desis Hansel menatap tajam obat itu.

Keadaan berbalik dimana kedatangan Harlan yang membawa air mineral di tangannya. Raut wajah tenang lelaki itu seolah tidak mengingat kejadian yang tadi. Lelaki itu melempar botol mineral itu ke arahnya.

Hansel menatap datar ke arah Harlan. Sekarang lelaki itu ingin melakukan apalagi. Ini sungguh menggelikan melihat lelaki itu bersikap baik kepadanya. Apalagi waktu lelaki itu berjongkok di depannya. Hal itu membuatnya ingin memukul wajah Harlan.

"Lo beneran gila?" tanya Hansel dengan menatap wajah Harlan penuh rasa tidak suka.

"Nggak, gue kasian aja liat pengemis kek lo," celetuk Harlan dengan mengobati luka lelaki itu penuh hati-hati.

Hansel menendang perut lelaki itu. Harlan terjatuh ke tanah dengan memegang perutnya. Ia melihat Harlan yang memberikan tatapan tajam kepadanya.

"Gila! Nggak sakit apa kaki lo?! Udah dibantuin juga!" maki Harlan yang mengelus perutnya.

"Lo yang gila!" maki Hansel yang berjalan perlahan-lahan ingin meninggalkan lelaki itu.

Dirinya sangat merasa jika lelaki itu mengejarnya. Lelaki itu berjongkok di depannya. Ia mendesis pelan merasa geli, sepertinya lelaki itu memang benar-benar gila.

"Naik," perintah Harlan.

"Nggak perlu tubuh lo pendek," ejek Hansel berjalan menyeret kakinya.

"Bajingan!" teriak Harlan yang menatap Hansel pergi meninggalkan cafe.

***

Pada siang hari, Hansel berjalan di koridor. Kakinya terasa berat membawa beban di tubuhnya. Ia hanya bisa berjalan dengan pelan menuju kelasnya.

Beberapa tatapan yang diberikan oleh orang-orang tidak membuatnya terpengaruh. Ia menganggap ini cobaan pertamanya di kampus pada dunia ini. Namun, ia merasakan ada yang salah waktu orang-orang mulai menghindar.

"Mau jadi gembel ceritanya?"

"Sialan, orang itu lagi," gumam Hansel dengan mengepalkan tangannya.

Harlan tidak mengatakan sesuatu yang salah. Hansel menggunakan pakaian yang sama, seperti pagi tadi. Pakaiannya yang terdapat bekas darah dan robek karena kejadian itu.

"Anjing, ngapain lo?! Lepasin tangan busuk lo dari tangan gue," maki Hansel tatkala Harlan menarik tangannya ke pundak lelaki itu. Mereka tidak seakrab itu, bahkan ia menganggap lelaki itu sebagai salah satu pembunuhnya. Ia mencoba melepaskan tangannya sampai tangannya tanpa sengaja menepis pipi lelaki itu.

Hansel terdiam menatap lelaki itu yang tertunduk. Ia memegang wajah lelaki itu yang selalu mendapatkan pukulan darinya. Ia mengangkat wajah lelaki itu dengan tatapan datar. Namun, sesuatu mengganggu jiwanya.

"Kenapa dia lucu kek anak anjing?" batin Hansel yang tidak bisa melihat kelucuan. Apalagi Harlan mencoba menghindari tatapan matanya.

"Ayo kalo lo emang ada niat bantu gue! Cuman kali ini aja," ucap Hansel dengan merangkul pundak lelaki itu.

Tindakan mereka berdua tidak lepas dari pandangan keempat sahabat Harlan dan mahasiswa lain. Mereka tidak mempercayai kedua lelaki itu akan akrab dengan mudah. Dimana terakhir kali mereka saling menyerang.

"Bang Jay, itu emang paketu kita?" tanya Ravin dengan cengo melihat keduanya.

"Nggak tau," jawab Jay yang sangat tidak percaya hal ini.

"Tutup mulut lo berdua," ucap Varo dengan berjalan pergi mengikuti mereka menuju kelas.

Saat di tengah perjalanan naik tangga. Hansel dan Harlan bertemu dengan teman-temannya. Ketiga teman Hansel juga tampak terkejut dengan keakraban yang ada dari keduanya.

"Bang Hansel, kenapa lo sama dia?" tanya Yolan dengan mengisyaratkan penuh tidak suka kepada Harlan.

"Lo kenapa, Han? Kenapa bisa luka-luka kayak gini?!" seru Miko yang khawatir melihat Hansel.

Hansel ingin menjawab pertanyaan dari para sahabatnya. Namun, Harlan menutup mulut Hansel menggunakan tangannya. Harlan menatap kearah ketiga teman lelaki itu dengan menyeringai.

"Kasian juga, ya, lo Hansel. Lo luka aja nggak ada yang tau. Pagi tadi bahkan mereka cuman kumpul bertiga doang di cafe tadi, sedangkan lo kek orang bodoh juga ngeliat mereka bertiga,"celetuk Harlan dengan tertawa puas melihat keadaan ini.

"Sini gue bantu lo, Han. Sekalian gue sama yang lain jelasin hal itu," ucap Arka dengan menghela napas.

"Lalu lo jangan coba adu domba kami!" lanjut Arka dengan menunjuk wajah Harlan yang terlihat mengejek dimata Arka, Yolan, dan Miko.

Hansel juga ikut menatap tajam Harlan. Lelaki itu seenaknya ikut campur dalam urusan persahabatannya. Ia baru saja ingin berterima kasih atas kebaikan lelaki itu walaupun hanya sekecil upil kodok.

"Sekalian aja nggak, sih? Lo kan satu kelas sama gue," ucap Harlan dengan tersenyum lebar seolah mengejeknya.

"Nggak sudi," desis Hansel dengan menatap tajam Harlan.

"Eit, katanya kali ini aja. Kalo bukan karna gue pagi tadi pasti lo pergi ke kampus tanpa obatin luka," ejek Harlan dengan mengangkat alisnya.

Hansel menatap sinis Harlan. Lelaki itu tetap saja menyebalkan, seperti dulu. Kali ini ia sudah salah menilai lelaki itu.

"Terserah," ucap Hansel dengan bantuan Harlan naik ke lantai dua dibantu oleh teman-temannya.

***

Jangan lupa vote dan komen ^_^
Keknya ada maunya aja nih🤔
Lanjut!!!

Dendam ParalelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang