___________________________________________Kotanya berbeda, suasananya berbeda dan rumah di depan sana, juga berbeda. Namun, tujuannya sama, sehingga ketika mobilnya berhenti tepat di depan, Azizi seperti dijungkirkan—dilemparkan ke masa-masa empat tahun yang lalu, ketika harus duduk di kursi mobilnya dan menatap rumah dengan saksama. Rasa ragu, rasa gundah dan ragam rasa yang bercampur aduk ini, selaras dengan rasa bersalah yang tidak pernah tahu kapan selesainya.
Pagi ini, harusnya Azizi tetap di hotel tempat ia menginap, turun ke bawah dan menikmati sarapannya, sayang sekali, tak ada yang satupun aroma makanan itu menarik untuk ia masukan ke perutnya. Azizi memutuskan memacu mobilnya ke jalan, membelah jalan raya, mengikuti kata hatinya, menyetujui obrolan canggung dengan Marsha tadi malam soal Oniel ingin bertemu.
Jadi, di sinilah ia sekarang, masih duduk bodoh memegangi stir mobil sambil menatap rumah sepi di sana. Rumah itu hanya terdiri dari satu lantai, cukup besar dengan halaman depan rumah yang asri, komplek perumahan di sini termasuk komplek yang sepi dan suasananya begitu tenang sekali, sehingga rumah Marsha keasriannya begitu masih terjaga.
Azizi begitu amat pasrah pagi ini, entah akan disambut apa oleh Oniel ketika ia menekan bel di depan pagar, bahkan, ia juga mempersiapkan hal terburuk yang akan ia alami, entah makian atau apapun itu.
Sekarang, bukan waktunya ia memikirkan hal teburuk lagi. Segera, ia melepas safety belt-nya lalu turun dari mobil dan berjalan perlahan mendekati pintu pagar yang tingginya hanya sedada itu. Azizi kembali bingung, tidak ada bel ternyata di depan sana dan ia juga merasa tidak enak harus membuka pintu yang tak dikunci—apalagi berteriak dengan kencang.
Saat seperti ini, ia bahkan lupa bahwa di dunia ini ada teknologi bernama ponsel genggam yang bisa ia gunakan untuk menghubungi Marsha bahwa ia sudah ada di depan rumahnya, sebelum itu... sebelum ia merogoh ponsel pintar itu dari saku celananya, knob pintu utama bergerak ke bawah, beberapa kali seperti sang empunya cukup payah hanya untuk membuka pintu itu.
Azizi hanya tetap menunggu, sampai akhirnya bocah yang tingginya hanya sepaha Azizi ketika ia bertemu tempo hari itu keluar—dengan pajama berwarna hijau dengan seabrek gambar dinosaurus itu—juga boneka T-rex yang ada di genggamannya.
Orion—buah hatinya, berlari begitu cepat untuk mendekati Azizi.
"Awas jat—uh." Terlambat, sebelum Azizi peringati, bocah itu sudah terguling beberapa kali dari paving block yang cukup menurun itu.
"Nda sakit kok." Orion segera berdiri, menepuk-nepuk tangannya yang kotor karena debu. "Mowning Om Am—kilain Om Aman." Mata berbinar Orion berubah jadi sendu dengan dua alis yang turun dan terlihat kecewa.
Azizi menghela napasnya.
Baik, harusnya ia tidak cemburu jika melihat Orion yang lebih ingin menyambut Armand daripada dirinya, bagaimanapun, mungkin waktu Orion lebih banyak dengan Armand dari pada dengannya yang baru beberapa jam menghabiskan waktu—mungkin saja Ori juga sudah tidak ingat lagi dengan Azizi, dilihat dari bagaimana Ori kembali canggung dan tidak mengatakan apa-apa lagi.
"Kamu masih inget aku enggak?"
Orion hanya terdiam, terpaku saja, tidak menjawab. Hal itu, malah bikin dada Azizi makin nyeri bagaimana mata mereka bertemu dalam tatapan dalam, meski dengan arti yang berbeda. Ori yang asing dengan dirinya dan Azizi yang selalu merasakan rasa bersalah yang tiada henti ini.
"Yeah, my fwiend."
Air muka Azizi berubah ketika Orion menjawab. Matanya berbinar dengan jawaban yang cukup memuaskan, tak apa, sekarang, ia akan menjalin pertemanan dengan lelaki kecil ini meski Azizi cukup bingung harus memulainya dari mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Jumpa bukan Selamat Tinggal
FanficDalam dekap hangat pelukan itu, diam-diam ia mencuri kesedihanmu, kemudian kalian merencanakan soal masa depan, tak lama masa lalu melambaikan tangan. ... Beberapa orang percaya, bahwa acara reuni sekolah adalah salah satu pintu ajaib mengantarkan k...