Lybiosa

Bintang dan Harapan

Malam ini aku menulis di alam terbuka, 31 Agustus 2020. Aku mengakhiri bulan ini dengan berkemah di salah satu tempat wisata yang ada di daerah Bandung Selatan. Hari ini aku tak membawa serta laptopku, maka aku menulis dengan smartphone yang selalu aku bawa kemanapun.

Pukul 21.37 waktu Indonesia bagian barat, api unggun hampir padam. Langit semakin gelap namun semakin indah, ada banyak bintang yang tak dapat aku lihat jika ada di pemukiman padat seperti rumahku. Entah apa yang mempengaruhi akan hal ini--mungkin karena iklim, polusi atau apapun itu aku tak benar-benar paham.

Aku merebahkan diri di selapis matras yang ada di samping api unggun. Semua temanku sedang berbincang ria, saling bertukar kisah. Entahlah, aku bukannya merasa asing dengan mereka hanya saja selalu ada rasa 'tak enak' jika harus memotong pembicaraan yang sebenarnya aku tak paham--apa lagi jika tiba-tiba aku mengalihkan topik pembicaraan.

Di sebrang tenda yang kami dirikan ada sekelompok orang yang juga sedang melakukan perkemahan seperti halnya kami, namun di sana terlihat lebih ramai--api yang mereka nyalakan terlihat lebih besar dan juga tabuhan gendang yang nyaring cukup mengganggu bagiku, tapi mereka terlihat bersenang-senang paling tidak rasa senang mereka cukup dapat aku nikmati.

Kembali aku memperhatikan langit malam ini, indah. Bulan dan bintang terlihat seperti tetangga yang akur. Perpaduan yang sangat luar biasa. Mungkin aku memandang hal ini berlebihan, tapi jujur ini memang indah. Jarang sekali aku melihat hal seperti ini--selain karena aku yang jarang keluar malam, daerah padat penduduk sepertinya adalah bagian yang dialergikan oleh bintang.

Malam ini aku menggantungkan harapan dengan kekuatan doa--berbisik pada bumi terdengar oleh seisi langit. Aku tak tau apa yang aku inginkan sebenarnya--mungkin karena terlalu banyak keinginan sehingga aku bingung mana yang menjadi prioritas, namun yang pasti aku hanya ingin yang terbaik untuk kehidupanku saat ini dan yang akan datang.