Terpaksa Menerima

520 43 82
                                    

Keesokan harinya.

Aku dan Dinda sudah sampai di sekolah. Kami berjalan memasuki pintu gerbang dan melewati pendopo yang tengah ramai dengan murid.

“Woi, Dinda!” panggil Tania, dia adalah teman sekelas Dinda.

Aku dan Dinda berhenti melangkah, melihat ke arah Tania yang berada tidak jauh dengan kami.

“Kenapa?” tanya Dinda.

Aku terdiam menatap mereka karena aku tidak akrab dengan Tania dan sepertinya Tania mau membicarakan hal yang penting kepada Dinda.

“Pulang sekolah kumpul dulu di ruang OSIS ya,” ujar Tania.

“Mau ngapain?” tanya Dinda.

“Bahas acara persami yang mau diadakan sekolah kita,” jawab Tania.

Aku menyimak obrolan mereka. Aku bukan anak OSIS tapi aku selalu membantu Dinda menjalankan kewajibannya sebagai sekretaris OSIS. Sejujurnya aku mau masuk OSIS tapi aku tidak punya waktu untuk ikut organisasi yang separuh waktunya disumbangkan ke sekolah. Aku harus bekerja supaya bisa lanjut sekolah.

“Diva, lo ikut persami, kan? Tapi wajib bayar. Kalau nggak salah bayarnya sekitar 500 rb,” kata Tania.

Aku menatap Dinda, bingung mau menjawab apa. Setiap tahun sekolah selalu mengadakan acara yang ujung-ujungnya harus keluar biaya.

Aku tahu anak sekolah memang butuh sedikit hiburan seperti diadakan studi tour atau festival tapi bagaimana dengan anak yang membiayai kebutuhannya sendiri? Seperti aku misalnya. Aku bersekolah di sekolah swasta dan tentu bayaran setiap bulannya, ditambah membeli buku lks yang juga tidak murah.

Aku biayai sekolahku sendiri dan karena itulah aku mati-matian berhemat, bahkan sampai tidak jajan dan memilih membawa bekal. Jika anak lain membawa bekal demi menabung untuk beli skincare, aku menabung untuk bayar SPP.

Terkadang aku iri dengan mereka yang dibiayai sekolah. Di keluarga besar aku, banyak sepupuku yang berhenti sekolah karena menurut mereka pendidikan tidak penting.

“Gimana Div? Lo ikut, kan?” tanya Tania membuyarkan lamunanku.

“Gue pikir-pikir dulu ya. Kalau ada uang gue ikut tapi kalau nggak ada, gue nggak ikut.” Aku menjawab jujur. Aku bukan tipikal orang yang suka memaksa kondisi keuangan karena tahu betapa susahnya mencari uang.

“Hemm, yaudah. Kalau gitu gue pergi dulu ya,” ucap Tania.

Tania berjalan menjauh dari aku dan Dinda, aku menatap Dinda dan memasang wajah sendu.

“Hidup gue miris banget ya. Usia gue baru delapan belas tahun tapi udah dipaksa dewasa karena keadaan,” ucapku dengan lirih.

“Ini semua bukan keinginan lo! Seandainya bapak lo nggak kayak Dajjal, pasti hidup lo bahagia. Kenapa Ibu lo pilih nikah sama dedemit kayak bapak lo sih?” tanya Dinda.

“Namanya juga jodoh. Kita nggak bisa pilih mau berjodoh sama siapa. Seandainya bisa pilih jodoh, gue pasti bakal pilih Wang Yibo,” jawabku.

“Wang Yibo yang nggak mau berjodoh sama lo,” sahut Dinda.

Aku dan Dinda pun tertawa, lalu berjalan ke kelas masing-masing. Aku masuk ke dalam kelas dan duduk di tempatku yang ada di barisan depan. Aku bukan anak pintar, aku duduk di depan karena mata aku rabun jauh. Kalau duduk di paling belakang, aku semakin bodoh dan artinya uang yang selama ini aku cari setengah mati untuk bayar SPP akan sia-sia.

“Selamat pagi,” sapa Pak Arkan.

“Selamat pagi, Pak.” Kami menjawab serempak, berusaha ceria walau hati ketar-ketir karena pelajaran MTK.

Love My Teacher [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang