36. Eyang

22.2K 2.1K 28
                                    

Happy Reading

Arkie tidak menjawab pertanyaan Eksha dan terus melajukan motornya menyusuri gang sempit itu. Hal tersebut membuat Eksha bertanya-tanya kemana dia akan dibawa oleh Arkie.

Jalanan desa juga Arkie tempuh. Hingga dia membelokkan motornya ke sebuah rumah kayu semacam pondokan. Dengan halaman depan yang sangat luas serta sekelilingnya masih ditumbuhi pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi.

Arkie mematikan motor mesinnya lalu turun. Dia melihat Eksha lalu tersenyum.

"Ayo turun, bisa ngga? Gue gendong ya?" tawar Arkie dengan lembut.

"Ini rumah siapa Kie?" Eksha masih tidak paham, kenapa Arkie membawanya ke rumah ini.

"Nanti di dalem juga ketemu kok. Ayo"

Arkie memposisikan punggungnya untuk dinaikin Eksha. Eksha awalnya menolak, dia tidak selemah itu untuk digendong. Namun Arkie tetaplah Arkie. Dia terus memaksa Eksha untuk naik ke punggung nya.

"Lu mah selalu memperlakukan gue kayak anak kecil mulu" gerutu Eksha yang sekarang sudah berada dipunggung Arkie.

"KAK ARKIE? EYANG ADA KAK ARKIE!"

Tiba-tiba datang dua anak perempuan yang berumur 6 tahunan berlari dari arah belakang rumah kearah Arkie yang sedang menggendong Eksha.

"Loh? kok digendong? Diakan sudah besar" anak perempuan berkucir dua bermonolog sambil melihat ke arah Eksha.

"Kie turunin, malu diliat bocah-bocah dah!" Eksha memberontak untuk segera diturunkan dari gendongan Arkie. Tapi, Arkie semakin menahan tubuh Eksha untuk tidak lepas dari gendongannya.

"Mawar, kakak ini lagi sakit makanya dia manja mau di gendong" terang Arkie sambil tersenyum.

"Ohh kakak sakit apa? Melati bisa obatin kok." seru anak perempuan dengan rambut seperti dora.

"Abis jatuh dia, eyang ada gak dek?" tanya Arkie sambil menaiki tangga untuk menuju ke atas rumah pondokan itu.

"Ada kok kak! Eyang tadi lagi didapur!"

Dua anak perempuan itu juga mengekori Arkie. Eksha hanya diam karena belum menemukan jawaban dari apa yang ada pikirannya.

Arkie menurunkan tubuh Eksha dikursi kayu. Lalu dia mengusak-usak rambut pirang Eksha. Dua anak perempuan tadi ikutan duduk disebelah Eksha.

"Gue panggilin Eyang dulu ya"

Arkie berjalan masuk ke dalam. Menyisakan Eksha juga kedua anak perempuan yang terlihat berbinar ketika melihat Eksha.

"Kakak! Namanya siapa?" tanya Mawar.

"Eksha" jawab Eksha dengan pelan. Karena dia jarang berinteraksi dengan anak kecil, rasanya cukup canggung.

"Ouh aku Melati kak! dia Mawar" tunjuk anak perempuan berambut seperti dora ke anak perempuan berkucir dua.

Eksha menatap keduanya, mereka gak keliatan mirip. Jadi Eksha asumsikan dua anak kecil ini tidak kembar. Hanya terlihat seperti seumuran.

"Aduh siapa ini yang datang" muncul perempuan tua lengkap dengan daster. Tanpa mengurangi rasa hormat Eksha memaksakan diri untuk berdiri meski lututnya sangat perih. Hanya untuk bersalaman dengan perempuan yang seumuran dengan Utinya.

"Eksha nek"

"Jangan panggil nenek, panggil eyang aja ya"

"Iya Eyang"

Meski keriput diwajah Eyang terlihat jelas, namun tubuhnya keliatan bugar dan sehat.

"Mawar dan Melati, bisa belikan kakak ini kelapa di Mang Andik?"

Dua anak perempuan itu mengangguk semangat. Dan menengadah tangannya meminta uang kearah Eyang.

"Pake uang Arkie aja Eyang, sekalian Arkie anterin mereka"

"Loh iya Eyang lupa belum ambil uang dari kebun. Tolong yaa Ki" Eyang tersenyum.

"Ayo dek" Arkie mengangguk. Kedua anak kecil itu terlihat girang sambil keluar. Arkie menatap Eksha sekilas, lalu mengelus pipi Eksha.

"Sama Eyang bentar ya, gue mau nganterin mereka" ujar Arkie dengan senyuman tipis, lalu keluar mengikuti anak-anak perempuan itu yang sudah turun dari rumah panggung itu.

Kalo Eksha bisa berjalan dengan baik, pasti dia akan merengek meminta ikut. Eksha tidak bisa memulai obrolan dengan orang baru. Apalagi yang umurnya sangat terpaut jauh dengannya. Jadi yang bisa dia lakukan hanya menatap pohon-pohon kelapa, dengan suasana sangat tidak biasa baginya.

"Arkie itu anak yang mandiri." ucap Eyang dengan tiba-tiba, membuat Eksha menoleh kearah beliau.

"Ditinggal kedua orang tuanya, namun dia tidak patah semangat. Justru itu menjadikan Arkie seperti sekarang." imbuhnya.

"Em Eyang tau ayahnya Arkie kemana?" Eksha menggigit bibir bawahnya, dalam benaknya apakah sopan jika bertanya seperti itu.

"Tau, Wibowo itu laki-laki pengecut. Dia emang gak ada disini, dan gak akan pernah Eyang izinin buat ketemu dengan Arkie lagi." Eyang terlihat serius dengan ucapannya barusan.

"Kenapa Eyang?"

"Selama Mirna ibunya Arkie hidup, Wibowo hanya benalu. Eyang ini bukan nenek Arkie. Eyang hanya teman dari neneknya Arkie dulu. Selama hidup Mirna banting tulang untuk menghidupi keluarganya. Pernah menjadi TKW dan menitipkan Arkie selama bertahun-tahun ke Eyang. Wibowo kemana? kerjaan hanya nongkrong gak jelas."

Eksha dengan seksama mendengar cerita kehidupan Arkie yang selalu membuat Eksha bertanya-tanya. Ini baru awal namun, hatinya terasa tidak nyaman mendengarnya.

"Sampai ketika Mirna sakit dan harus pulang kesini. Dulu Eyang sama Mirna gak tinggal disini, kita semua asal Pekalongan. Rumah ini, meski cuma dari kayu, ini pemberian Mirna." Eksha mengedarkan pandangan melihat sekeliling rumah kayu yang terlihat kokoh.

"Selama sakit, Mirna tidak henti mengajarkan Arkie untuk tidak membenci ayahnya. Sampai puncaknya sakit yang diderita Mirna semakin parah. Wibowo juga dengan tidak berperasaan mengambil uang simpanan yang Mirna sisihkan untuk biaya kehidupan Arkie." mata Eyang terlihat berair. Eksha melihatnya dan hanya bisa diam.

"Eyang inget, Mirna selalu bilang gini 'Kepengen ngelihat Arkie dengan topi toganya'. Eyang juga inget, waktu Arkie kelas 9 dan tengah malam dia sempetin belajar karena besoknya harus ujian. Namun takdir berkata lain, Mirna menghembuskan nafas terakhirnya tepat Arkie baru saja ketiduran dengan tumpukan buku disekitarnya. Tau apa yang terjadi selanjutnya?"

"Apa Eyang?"

tbc... voment + follow

✎ nv -27/01/24

Enchanted ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang