27. Apakah Ini adalah Akhir?

34 7 4
                                    

Hari-hari berlalu setelah insiden penusukan di bazar, keadaan istana pun sudah kembali kondusif. Bahkan sejak peristiwa Anzilla mengakui perasaanya pada khalifah, hubungan mereka menjadi semakin harmonis. Perasaannya selalu berbunga-bunga setiap kali khalifah Harun menemuinya.

Anzilla tersenyum kala dia mengingat semua momen kebersamaannya dengan khalifah. Namun, senyumnya pudar ketika bayangan dirinya suatu saat harus pergi meninggalkan laki-laki itu bersama kenangan mereka di tempat ini. Akankah, dia bisa menemukan sosok laki-laki seperti khalifah di masa depan?

Mata hari senja mulai memancar indah di ufuk barat. Pendar warna jingga membuat perasaan Anzilla semakin diliputi rasa sedih, kala bayang-bayang perpisahan itu semakin terasa dekat. "Haruskah aku bertahan di tempat ini?" gumamnya lirih.

"Yang Mulia, mari kita masuk, azan magrib sudah hampir berkumandang."

Teguran Halima membuyarkan lamunan Anzilla, wanita itu hanya mengangguk tanpa membuka suara. Lalu melangkah pergi dari balkon istana. Namun, baru beberapa langkah dia berjalan, Ayesha terlihat datang dari arah berlawanan. Anzilla pun terpaksa menghentikan langkahnya.

"Salam, Yang Mulia," ujar Ayesha sambil membungkuk hormat.

Anzilla yang memahami tujuan Ayesha menemuinya pun langsung sigap memberi instruksi. "Ikutlah ke ruanganku, kita bicara di sana," ujarnya kemudian.

Ayesha pun mengangguk, lalu ikut berjalan di belakang permaisuri.

"Jadi, ada berita penting apa yang kau bawa padaku?" tanya Anzilla ketika keduanya sudah berada di kediaman permaisuri. Anzilla lebih dulu menyuruh semua dayangnya berjaga di luar agar memastikan tak akan ada yang mendengarkan pembicaraan mereka.

"Ini gawat, Anzilla, kau harus berhati-hati. Aku baru saja mendengar bahwa selir Areta dan Al-Malik berniat meracuni mu lagi di acara perjamuan yang akan digelar oleh putra mahkota," ujar Ayesha dengan nada berbisik.

"Be-benarkah? Apa kau yakin?" Anzilla terlihat kaget. Rupanya situasi benar-benar sangat berbahaya.

"Aku yakin sekali ... Bukan hanya itu, sepertinya putra Zubaidah juga terlibat ... kau akan bagaimana sekarang?" Ayesha penasaran apa yang akan dilakukan oleh temannya ini. Mengingat wanita itu terlihat sangat tidak fokus. Apa lagi kala nama Al-Amin disebut.

"Entahlah ... tapi yang jelas kau turuti saja perintah mereka jika memang kau yang harus melakukan. Aku akan memikirkan sisanya. Lalu soal Al-Amin, biar aku sendiri yang menanganinya. Jangan katakan apapun pada khalifah jika nanti dia menemui mu, aku tak ingin dia sedih karena memikirkan perangai putranya. Lagi pula ini juga berhubungan dengan ratu Zubaidah, dia dan semua klan bani Hasyim pasti akan kecewa jika tahu." Anzilla berusaha untuk tetap tenang di tengah perasaanya yang sedang di landa kegundahan, karena memikirkan khalifah dan semua masalah ini.

"Tapi-"

"Aku mohon lakukan saja, sisanya biar aku yang akan mengurusnya. Lagi pula aku tak ingin mengubah sejarah, cepat atau lambat Al-Amin memang akan naik tahta. Kau juga harus membuat dirimu aman di istana ini bukan? Setidaknya sampai kita bisa menemukan jalan untuk kembali ke masa depan." Anzilla meyakinkan Ayesha sambil menggenggam tangannya yang ada di atas meja, karena wanita itu tampak sangat ragu dan takut. Lama, tatapan keduanya saling beradu, dengan tangan yang saling meremas untuk saling mengirim kekuatan. Hingga tak lama setelahnya Ayesha pun mengangguk yakin.

"Berjanjilah kau akan selamat, Anzilla, atau aku tak akan bisa memaafkan diriku," ujar Ayesha di tengah suasana haru itu.

"Pasti... kau dan Rashad juga harus selamat."

"Pasti."

"Kalau begitu aku pergi dulu, aku khawatir ada yang melihatku menemuimu," sambung Ayesha lalu bangkit dari duduknya.

Anzilla dan Sang KhalifahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang