Caramel membawa kedua tas berat di tangannya dengan terseok-seok, ia menghela nafas kasar begitu telah sampai pada tempat duduk kosong di sela-sela padatnya bus. Ia dengan kerepotan menaruh kedua tas itu di sampingnya, syukurlah, sudah tiada lagi yang duduk karena bus kini beranjak dari halte. Sungguh, ia harus menggerutu dalam hati jika ia terkena jadwal untuk membawa sisa makanan dan bubuk kopi dari kafe tempat ia bekerja.
Di depannya adalah seseorang dengan surai gelap dan gondrong, menikmati sesapan rokok tiap beberapa detik. Ia dengan takut-takut mengamati, curi-curi pandang tatkala pemuda itu tak memperhatikannya. Penampilannya mengerikan, mungkin siapa saja akan mengira bahwa pemuda itu merupakan seorang preman. Perawakan sang lelaki begitu tinggi dan jngkung, hingga posturnya tampak seperti menunduk. Berbanding terbalik dengan Caramel yang hanya memakai dress floral putih dan flat shoes, sang lelaki mengenakan jaket hitam kulit dengan celana sobek-sobek, serta sepatu putih-hitam yang sudah kumal.
Tetapi Caramel berusaha tentang, ia hanya membuka buku kecilnya untuk mengevaluasi penjualan hari ini.
Pemuda itu, tentu saja, menyadari jika Caramel sedari tadi mengintip. Ia mengerutkan dahi dan tampak kesal.
"Kenapa ngeliatin?"
Caramel yang seperti ditodong pertanyaan pun kini mendongak, lantas menggeleng dan tersenyum, seolah berbicara bahwa ia tak memiliki masalah apapun dengan sang pemuda. Kalau boleh jujur, ia takut pemuda itu akan marah karena tatapan (yang mungkin) kurang menyenangkan baginya. Jadi Caramel menatap pada lembaran-lembaran itu kembali dengan keringat yang mengucuri dahinya.
Pemuda itu mengendikkan bahu, lantas memusatkan perhatiannya pada buku kecil yang digenggam oleh gadis di hadapannya, kemudian pupilnya beralih pada sang gadis. Mereka jadi seperti saling melihat, namun tiada kata yang dilontarkan.
Satu persatu penumpang mulai turun dari tempatnya, tersisa keduanya saja yang kini sama-sama tak mau berpindah tempat duduk. Ya, mereka takut menyinggung, dasar people pleaser.
Karena merasa canggung, Caramel hanya menggambar sketsa acak pada buku kecilnya itu, membiarkan sang lelaki menyesap rokoknya. Ia acuh, asap itu juga tak berpengaruh apa-apa padanya.
Atensi lelaki itu kini padanya. Menatap Caramel dengan kedua pupil cokelat gelap miliknya, ia kerap memandang gadis yang lebih mungil dari dirinya itu.
"Vinny," ujarnya singkat, suaranya lebih dalam dari Samudra Pasifik, setidaknya itulah yang Caramel pikirkan. Berat dan terdengar seperti robot Optimus Prime.
Akibat perkenalan pendek itu, membuat Caramel lantas menuliskan sesuatu sebagai balasan. Ia mengangkat buku itu agar sejajar dengan pandangan sang lelaki.
'Aku Caramel.'
Otak Vinny rasanya diaduk-aduk. Mengapa gadis itu harus menulis pada secarik kertas dibanding berbicara secara langsung? Apa itu tidak lebih menyusahkan?
"Salam kenal," katanya lagi.
Caramel melontarkan senyum tipis pada sang pemuda, lantas ia menulis kembali.
'Maaf ya kalau harus menulis begini, aku bisu.'
Jantung Vinny terasa berhenti berdetak.
Matanya membelalak, ia meneguk ludahnya kasar lalu menggelengkan kepala. "G-gak papa, kok. Sorry, gue gak tau tadi."
"Lo gambar apa?" Bicaranya lagi, merasa penasaran akan goresan yang kerap kali gadis itu torehkan pada kertas.
Caramel kemudian membalikkan bukunya, menunjukkan beberapa gambarnya, mengundang senyuman pada wajah Vinny karena sketsanya yang apik untuk dilihat. Ia dapat melihat beberapa kue kering dan minuman yang tergambar di sana.
"Bagus," pujinya singkat.
'Terima kasih', balasnya.
Keadaan kembali hening, kini Vinny merasa betul-betul tidak enak karena telah menganggap gadis di hadapannya ini aneh, ternyata gadis itu hanya tak bisa bicara.
Bus itu akhirnya berhenti pada halte tempat Vinny harus turun. Lelaki itu berdiri, hendak beranjak sebelum ia memutuskan untuk memberi senyum kecil pada sang gadis.
"Hati-hati ya, gue turun dulu."
Caramel mengangguk, ia melambaikan tangannya sebelum sebuah benda membuat dirinya harus berkedip dua kali. Ia hendak mengejar sang pemuda, namun bus itu telah lebih dahulu berjalan.
Ah, dompet Vinny ketinggalan.
Untuk sekarang, rasanya Caramel hanya akan menyimpan dompet itu. Ia membukanya, melihat sejenak alamat yang tertera pada identitas sang lelaki, kemudian meletakkan seluruh benda itu di dalam tasnya. Ia hanya tersenyum.
Vinny Garcia.
Itu nama sang lelaki. Ia kira Vinny hanya nama untuk wanita? Tetapi ternyata tidak. Kalau ia boleh jujur, Vinny sangat tampan, wajahnya seperti personil boy band Korea kesukaannya.
Hanya tinggal satu halte lagi tempat pemberhentian mendekati rumah pamannya. Caramel sabar menunggu.
Tubuhnya condong ke depan sejenak begitu sang pengemudi menginjak rem, ini pasti pemberhentian terakhir, pikirnya. Caramel segera berdiri, melakukan cek singkat akan barang bawaannya, takut ketinggalan, lantas membawa kedua kantong plastik yang berat itu kembali. Dengan hati-hati tapi pasti, ia beranjak keluar dari bus.
Tubuh kecilnya itu perlahan perjalan di kediaman milik pamannya. Begitu sampai, ia langsung mengetuk pintu, memunculkan seorang lelaki paruh baya yang langsung mengundangnya masuk dan sejenak memberinya semangat dengan mengacak rambut Caramel.
"Gimana penjualan hari ini?" Tanya sang pria dengan nada hangat.
"Syukur, hari ini kafenya ramai, paman. Lebih dari target harian, tip untuk kita juga banyak," jawabnya.
Ryan yang menatap gestur jari dari sang ponakan hanya tersenyum bangga. "Makasih ya, Caramel, kamu itu anak baik. Jangan lupa cuci kaki dan muka ya, nak, terus istirahat."
Yang diberi titah hanya mengangguk, ia naik ke lantai dua untuk beristirahat pada kamar yang memang diberikan untuknya. Caramel menggantung tas dan pakaiannya pada lemari kayu itu, lantas melakukan titah pamannya untuk mencuci bagian tubuhnya.
Melakukan semua itu, pikiran Caramel hanya tertuju pada satu hal.
Vinny.
Lelaki itu melekat pada otaknya dan tak mau pergi. Ia memutuskan untuk mengambil laptopnya, kemudian mengetikkan beberapa informasi di sana. Muncullah beberapa sosial media milik sang lelaki, termasuk Instagram dan Twitter.
Oh betapa kaget dirinya, bahwa Vinny ternyata seorang produser musik sejak dua tahun yang lalu. Sayangnya, ia masih belum dikenal banyak orang. Terbukti dengan pengikut instagramnya yang masih sejumlah 500.
Feedsnya betul-betul ditata dengan baik, ia memberi konsep gelap dengan beberapa postingan random. Koleksi album dan rokoknya, piringan hitam, alat produser, juga kucing jalanan.
Lelaki itu memiliki unsur keindahan yang tak biasa, ia tak suka memposting wajahnya, padahal ia tampan, itu salah satu yang Caramel sukai.
Jarinya maju mundur, namun ia memutuskan untuk menekan saja tombol 'follow' yang tertera pada sosial medianya. Ia hanya berharap tak dipandang sebagai stalker aneh.
Caramel kemudian membanting ponselnya pada kasur yang luas itu, hatinya berdegup terlalu kencang. Baru saja tadi ia bertemu dengan Vinny, perasaan apa ini?
Lima menit setelahnya, sang gadis dapat mendengar notifikasi yang masuk pada ponselnya, dan ia takut-takut membuka.
cig4retts telah mengikuti Anda!
Sial, Caramel rasa ia tak akan bisa tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Symphony
RomanceCaramel Macchiato, seorang gadis manis yang bekerja sebagai barista paruh waktu di kafe milik ayahnya sebab kedua orang tuanya telah lama tiada. Merangkap sebagai seorang mahasiswa, Caramel kerap kali pulang malam setelah menutup shift kafenya. Asma...