27

806 172 2
                                    

Putih menyimpan banyak rahasia dariku. Kuharap tidak seperti mengupas bawang yang memiliki banyak lapisan. Itu akan sangat mengejutkan sekaligus menjengahkan.

[Waktu berhenti.]

Tepatnya, sekitarku saja yang berhenti. Aku, Putih, dan si vampir ini terbebas dari kebekuan.

Vampir itu menampilkan senyum yang kesannya begitu arogan. Tidak perlu bertanya kepada Putih, pasti vampir inilah pelakunya. Bila dia bisa membuat pintu dan membiarkan monster kelelawar memangsa vampir celaka, serta menghentikan laju waktu ... tidak menutup kemungkinan ia pun mampu membuka portal ke dimensi lain. Akankah dia juga bisa membuat jalur menuju duniaku?

Membayangkan sekelompok monster dan vampir merangsek ke duniaku bukanlah hal menyenangkan. Khususnya di negeriku. Apa yang bisa dilakukan oleh mereka selain menurunkan tentara dan pasukan khusus? Bersenjatakan pistol dan belati? Apa itu cukup untuk menahan gempuran sebesar ini? Bahkan aku yang telah dibekali oleh kesaktian dari Putih pun sebenarnya kelimpungan.

“Apa kamu ingin tahu seberapa jauh jangkauan kekuatanku?” ucapnya sembari mengangkat tangan kanan. Caranya bicara seakan bisa membaca pikiranku. Mengerikan. “Cukup besar. Barangkali bisa membuatmu terkesan.”

“Tidak,” aku menolak sepaham dengannya. Ada pepatah dari barat yang mengatakan bahwa keingintahuan membunuh seekor kucing. “Nggak perlu.”

Dia melangkah. Caranya berjalan begitu anggun, persis kucing yang begitu percaya diri. Semua manusia yang ada di sekitar kami tidak ada bedanya dengan patung. Hanya saja patung yang satu ini masih bisa hidup setelah jeda dilepaskan dari cengkeraman roda waktu. Ketika jarak di antara kami tinggal beberapa jengkal saja, ia berhenti.

“Apa kamu ingin bicara di sini?” tanyanya dengan ujung bibir naik, melengkungkan senyum menggoda.

[Pindah.]

Aku tidak yakin pindah ke mana pun merupakan ide baik. Maksudku, keselamatanku. Oke?

[Dia tidak akan memangsamu!]

Ha kata makhluk yang muncul paling belakangan ketika aku hampir celaka!

[Kali ini aku serius!]

Masalahnya aku juga serius!

[Fionn tidak akan menyerangmu!]

Oh jadi nama vampir itu ialah, Fionn. Terdengar sangat Irlandia sekali.

“Sebenarnya kamu hanya ingin bicara dengan Putih saja, ‘kan?” tuduhku.

Aku berbalik, memberinya isyarat melalui mataku agar mengikutiku. Kulanjutkan langkah ketika dia bersedia mengikutiku.

“Biarkan mereka bebas, Konyol!” desakku kepada Fionn saat ia ada di dekatku.

Waktu kembali bergulir. Semua orang kembali ke rutinitas masing-masing. Sama sekali tidak sadar bahwa sabit maut baru saja menempel di leher mereka.

“Sebagai manusia yang terlihat lemah,” ucapnya kepadaku. “Kamu cukup berani menantang ajal.”

Kalaupun aku mati, setidaknya telah kulakukan segenap usaha. Itu lebih baik daripada diam dan membiarkan takdir melindas ragaku.

Kuarahkan Fionn ke salah satu taman. Biar saja orang mengira aku sedang berencana melakukan tindakan mesum. Dengan begitu, tidak ada satu orang pun mendekati taman.

Setelah yakin tidak ada satu orang pun di sekitarku, aku berhenti. “Apa maumu?” desakku, menatap Fionn. “Ingin bicara dengan Putih saja?”

“Putih?”

Batu darah milikku memancarkan sinar. Putih keluar dari sana. Dia menempatkan diri di antara diriku dan Fionn. Bagus! Untuk kali ini dia tidak muncul di detik terakhir.

“Apa maumu?” desis Putih. Kedua sayapnya mengembang, begitu megah seolah hendak menggapai langit malam.

“Manis sekali sambutan yang kudapat,” ucap Fionn. “Selama ini kamu bersembunyi di sana, di pohon tua, dan menolak muncul. Siapa pun yang kuambil dari desa terkutuk itu, kamu tidak peduli. Lantas mengapa sekarang kamu bersedia menjawab panggilan dari manusia?”

“Aku punya alasanku sendiri,” balas Putih, defensif.

Jadi, selama ini Putih menolak panggilan dari siapa pun? Bahkan mungkin termasuk Jane. Apa artinya ini?! “Putih....”

“Tidak sekarang, Nak,” Putih memotong. Dia tidak bersedia melihatku ... atau, dia takut melihatku? “Akan kujelaskan. Nanti,” tambahnya dengan nada gusar. “Setelah kubereskan urusan dengan dia.”

“Aku tidak keberatan menjelaskan,” Fionn menawarkan diri. “Coba....” Dia mengetuk dagu dengan telunjuk, seakan melihat kecemasan yang merayapi diriku merupakan sebentuk hiburan. “Aku tahu! Karena kamu, Bocah, mirip dengan seseorang. Bukan secara tampilan, melainkan yang lain. Kalian berdua cukup mirip. Sama-sama tajam.”

Fionn barangkali berusia sangat tua. Dia bukan lawan sepadan bagiku. Aku tidak yakin bisa mengalahkannya. Namun, Putih?

“Tinggalkan kami,” kata Putih.

“Melepasmu? Setelah sekian tahun?” Fionn terkekeh. “Aku berharap bisa menghabiskan waktu bersamamu. Mengapa aku harus merelakanmu pergi dengan bocah itu? Sekarang kita perlu bicara.”

“Aku akan bicara denganmu di saat yang kuinginkan,” balas Putih. Dia mengepakkan sayap. Dengan kecepatan kilat menyambarku, menggigit kerah bajuku, dan membawaku terbang.

Kulihat Fionn di bawah. Dia hanya menampilkan seulas senyum. Bukan senyum manis. Hanya sesuatu yang bisa kuartikan sebagai tantangan? Dia melambaikan tangan, tapi jauh di dalam hatiku aku tahu dia akan mencari kami.

“Hebat! Sekarang bukan aku saja yang jadi buron!” teriakku ketika kami sudah berada jauh dari Fionn. “Seharusnya kamu nggak menyembunyikan apa pun dariku!”

[Masalah berat.]

Bagus. Sekarang dia berbicara denganku melalui pikiran!

“Apa yang lebih berat dari kemungkinan kita berdua mati di tangan Fionn?!”

[Dia tidak ingin membunuhku.]

Kata siapa?! “Aku tidak percaya denganmu!”

Putih memilih salah satu atap gedung yang tertinggi. Di sini angin berembus kencang dan rasanya aku bisa mati beku! Barangkali dia merasa sedikit bersalah. Ia mendekat, membiarkanku merebahkan diri di samping tubuhnya, dan diselimuti oleh sayapnya.

[Dia tidak akan membunuhku.]

“Kamu makhluk hidup, bisa mati juga.”

[Kalau aku menghendaki kematianku, sudah sedari dulu kuterima takdirku.]

Aku tidak ingin mengorek informasi mengenai orang yang Fionn maksud. Setidaknya sampai suasana hatiku sedikit membaik. Namun, sejauh ini tidak ada tanda-tanda aku merasa sedikit lebih baik. Bahkan setelah bergabung dengan Bintang Fajar. Rasanya ada bagian dari diriku yang merasa terancam ke mana pun diriku menjejakkan kaki.

Kegilaan?

Apa aku mulai gila?

[Kamu hanya cemas.]

“Jangan hibur aku,” ujarku sembari membenamkan wajah ke bulu-bulu sehalus sutra. “Sedang tidak bisa diajak berpikir.”

[Fionn tidak akan mengincarku.]

“Dia mengejarmu! Bukan aku, ya?!”

[Hubungan kami sedikit sulit dijelaskan dengan ... sederhana.]

“Apa dia mantan kekasihmu? Kamu tahu, ‘kan? Hubungan cinta beda spesies?”

[Tidak!]

Padahal aku hanya tanya doang, tapi reaksinya....

Jadi, mereka mantan?

***
Selesai ditulis pada 25 Januari 2024.

***
Setelah update 9mail, tampilannya ... hmmm saya jadi cemas. Btw, dua hari ini kalian dapat notifikasi kalau ada email baru dari 9mail, enggak? Punya saya kok enggak muncul notifikasinya, ya?

Salam cinta dan kasih sayang.

LOVE.

ALL OF THEM WANT TO KILL HER (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang